Sebuah cerpen penyiram jiwa, tentang cinta,
perbedaan, dan keindahan surga.
“Bunga dari
Surga”
Oleh : Sae
“Tanyakan
pada Tuhanmu, tidak bisakah aku yang bukan hamba-Nya memiliki keindahan ciptaan-Nya?”
Pertemuan pertama, Sejak matanya tak sengaja bertatapan
dengan perempuan dalam commuterline
menuju ibukota, Vallent masih tersihir oleh cahaya yang seakan memancar dari
bola mata coklatnya. Jika kebanyakan perempuan yang bertatapan atau sengaja
menatapnya selalu terpesona, kali ini sungguh berbeda. Perempuan itu justru mengalihkan
pandangan, menunduk dengan cepat. Vallent menghitung satu sampai tiga, tidak
seperti perempuan lain yang akan menoleh dalam hitungan tiga lalu menunjukkan
senyum termanisnya. Perempuan itu justru tak bergeming. Entah kenapa Vallent
merasa resah, padahal ia ingin menyusup lebih dalam bola mata coklat yang
membuat hatinya bergetar. Vallent tetap waspada, siapa tahu wanita itu
tertangkap basah mencuri pandang, tapi sampai akhir perjalanan perempuan itu
tidak berniat menatapnya.
***
Biasanya Vallent hanya butuh tiga puluh menit
menuju kantornya. Kali ini ia harus menempuh perjalanan panjang dari Depok ke
Jakarta. Beberapa hari lalu ia diberi tugas untuk menggantikan atasannya
menghadiri sebuah acara di Universitas Indonesia. Ia bertemu dengan sahabat
karib dari Yogyakarta. Karena lama tidak bertemu mereka mengobrol panjang dan
bernostalgia saat masih menjadi mahasiswa. Sesampainya di kantor, beberapa
berkas menumpuk di meja. Bekerja di perusahaan pembangunan besar di usia dua
puluh delapan tahun, Vallent dikategorikan sebagai arsitek muda berbakat. Ia
lulus dengan nilai camlaud dari
universitas terbaik Yogyakarta dan langsung mendapat tawaran kerja di beberapa perusahaan
ternama. Tapi Vallent memutuskan kembali ke Jakarta agar dapat berkumpul bersama
keluarga besarnya.
Vallent kembali pada rutinitas kerjanya, memeriksa
proposal pembangunan dan melanjutkan desain yang belum sempat diselesaikan. Ini
adalah proyek pertama membuat desain rumah impian keluarga karena ia selalu
menangani desain pusat perbelanjaan atau perkantoran sebelumnya. Saat bekerja
Vallent seperti memiliki dunianya sendiri, bersama penggaris, pensil dan
berbagai garis. Tapi kali ini ia tidak bisa fokus, mata coklat perempuan itu
masih terbayang. Ia tidak bisa memahami dirinya sendiri, bagaimana mungkin
tatapan yang begitu singkat membuat jantungnya berdetak kencang. Lebih aneh
lagi perempuan itu sangat jauh dari tipe idealnya, perempuan itu berjilbab.
Vallent merasa ada sesuatu yang tidak masuk akal pada dirinya.
***
Raa tidak terbiasa naik commuterline, terhitung hanya beberapa kali. Ia tidak bisa masuk ke
gerbong khusus wanita karena terlalu penuh dan berdesak-desakan. Terpaksa Raa
masuk kegerbong campuran. Menunggu kereta selanjutnya akan membuatnya terlambat
bekerja. Sepupunya menawarkan untuk mengantar, tapi ia tidak enak karena sudah
merepotkan. Untung saja Raa mendapat tempat duduk didalam kereta. Ia tak perlu
berdiri selama perjalanan pulang ke Jakarta.
Raa segera menundukkan wajahnya saat tidak
sengaja bertatapan dengan seorang laki-laki didalam commuterline. Ia sangat menjaga pandangan, apalagi dengan lawan
jenis. Tapi Raa merasa aneh, tatapan yang tidak lebih dari dua detik itu
menggelitik hatinya. Raa ingin menatap laki-laki itu sekali lagi, namun Ia tersadar. Jika tatapan pertama keberuntungan, maka
tatapan kedua adalah dosa.
Perjalanan tiga puluh menit hingga stasiun
tujuan. Raa merapikan jilbab panjangnya. Setelah turun dari kereta , ia melihat
laki-laki itu berjalan beberapa langkah didepannya. Lengan kemejanya digulung
tiga perdelapan, ranselnya digendong disebelah lengan kanan. Rambutnya rapi
meskipun terlihat agak lebat. Tidak seperti pegawai kantoran yang taat
berpakaian, gayanya terlampau santai. Menyadari pikirannya melayang, Raa buru-buru
masuk kesalahsatu taksi yang berjajar didepan stasiun menuju tempat kerja.
Jalan Jakarta macet seperti biasa. Raa
menyesal menggunakan taksi. Seharusnya ia berhemat karena biasanya pergi
bekerja naik angkot. Raa mengajar di taman kanak-kanak sekitar Casablanka. Sejak
dulu Raa suka anak-anak, itulah sebabnya ia bersyukur karena bisa menjadi salah
satu pengajar disana.
***
Pertemuan kedua, seperti dua sisi mata koin. Vallent
menyelesaikan desain dengan cepat. Mungkin lusa bisa memulai proyek barunya. Ia
sengaja pulang lebih awal untuk melihat lokasi pembangunan. Vallent jenis orang
yang lebih suka menggunakan transportasi umum. Kemacetan disebabkan karena
kebiasaan orang Indonesia yang lebih suka menggunakan kendaraan pribadi.
Setelah sampai dihalte terdekat, Vallent menyapu pandang sekelilingnya, hanya
ada beberapa orang disana. Tapi matanya tertuju pada sosok perempuan yang
berdiri didepan papan informasi. Ia masih ingat jelas wajah perempuan itu,
lebih tepat warna bola matanya. Vallent merasa jantungnya berdegup kencang.
Raa berdiri didepan papan informasi. Seorang Bapak
tua datang mendekat dan bertanya bus yang harus ia gunakan menuju alamat disecarik
dikertas. Raa tersenyum, dengan sopan membantu Bapak tua mencari rute bus yang
harus digunakan. Tapi Raa sedikit bingung karena alamat yang tertera disana
tidak lengkap. Bapak tua itu terlihat putus asa.
“Maaf, ada yang bisa saya bantu?” Seseorang tdatang
dan menawarkan bantuan.
Pak tua dengan senang hati menanyakan alamat
yang tertera di kertas. Sedikit banyak Vallent hafal dengan daerah di Ibu Kota.
Dengan sabar Vallent menjelaskan rute bus yang harus dinaiki. Setelah cukup
jelas, Bapak tua itu berterima kasih dan pergi, tinggal Vallent dan Raa yang
masih berdiri didepan papan informasi. Raa menyadari hanya mereka berdua yang
tersisa dan segera melangkah mundur. Vallent tersenyum geli melihatnya.
“Jangan khawatir. Aku bukan orang jahat, kok.”
“Oh, maaf.”
Raa menundukkan kepalanya, ia tidak terbiasa
berbicara dengan menatap wajah lawan jenisnya. Ia selalu menjaga jarak dengan
laki-laki yang bukan muhrimnya.
“Terima kasih sudah membantu.”
“Ya, sama-sama.”
Vallent tersenyum simpul. Ia tidak menyangka
akan bertemu lagi secara kebetulan. Ajaib, pikirnya.
“Oh ya, aku Vallent.” Vallent mengulurkan
tangan kanannya.
Raa sama sekali tidak terlihat akan menjabat
tangan Vallent. Ia hanya mengatupkan kedua tangannya didepan dada.
“Saya Raa, Khumaira Azzahra.”
Vallent baru menyadari bahwa Raa tidak
menjabat tangannya, ia segera menarik tangannya. Tapi Vallent sudah cukup senang
mengetahui nama perempuan itu, nama yang indah.
“Sepertinya
aku pernah melihatmu.”
Vallent memulai percakapan setelah Raa hanya
berdiri diam selama menunggu bus yang tak kunjung datang.
“Oh, benarkah?” Raa sedikit menoleh, tapi wajahnya
menunduk.
“Hmmm.” Vallent sedikit kecewa. Perempuan itu
hanya berbicara seperlunya, bahkan tak mau menatapnya.
“Ngomong-ngomong, apa kau bekerja disekitar
sini?”
“Ya, saya mengajar disekitar sini.”
“Jadi kau
seorang guru? SD, SMP atau SMA?” Tanya Vallent antusias.
“Taman Kanak-kanak.”
Vallent
mengangguk-angguk, perempuan itu pasti menyukai anak-anak. Tanpa sadar senyumnya
terkembang.
“Wah, kalau
begitu kita akan sering bertemu.” Jawab Vallent dengan antusias.
“Ya?” Raa
tidak mengerti kenapa laki-laki itu terlihat gembira dari nada suaranya.
“Ah maksudnya,
kebetulan aku sedang mengerjakan proyek disekitar sini. Jadi kita akan sering
bertemu.”
Bus yang
ditunggu akhirnya datang, Raa segera naik disusul Vallent dibelakangnya. Valent
mengambil posisi duduk tepat dibelakang Raa. Entah kenapa perasaan Raa menjadi
aneh setelah bertemu dengan Vallent. Ia bahkan terkejut saat Vallent terus
memulai percakapan dengannya. Tapi sepanjang perjalan tidak ada lagi percakapan
diantara keduanya sampai turun di tujuan masing-masing.
***
Pertemuan
ketiga, ditakdirkan berbeda. Sudah sepekan sejak Vallent bertemu Raa. Vallent berharap
berpapasan atau bertemu Raa. Vallent sengaja melewati jalan memutar dari kantor
proyeknya. Ia mengamati daerah sekitar, berharap menemukan Sekolah tempat Raa
mengajar. Tapi Vallent tidak menemukan Sekolah Taman Kanak-kanak, ia menyerah
dan memutuskan pulang. Saat melewati persimpangan jalan, Ia melihat Raa sedang
mengobrol bersama seorang perempuan. Vallent menghampiri Raa setelah perempuan itu
pergi. Raa sedikit terkejut saat melihat Vallent menghampirinya.
“Oh Raa, kita
bertemu lagi.” Ucap Vallent sumringah.
Raa mengangguk
kecil, tidak menyangka akan berpapasan dengan Vallent lagi.
“Baru pulang
mengajar?”
“Ya.”
Vallent
mengangguk-angguk paham. Vallent diam-diam memperhatikan Raa, perempuan itu
masih sama. Mata coklatnya masih indah walau terlihat lelah, wajahnya putih dan
bersih. Vallent tidak pernah melihat perempuan berjilbab yang terlihat anggun
seperti Raa sebelumnya, lebih tepatnya ia tidak pernah tertarik memperhatikan
mereka.
“Kebetulan
sekali bertemu, mari ke halte bersama.” Ajak Vallent semangat.
Raa melirik
jam tangannya, lalu menyapu pandangan kesekeliling.
“Sebentar
lagi Azhar, Apakah anda tidak ingin ikut sholat berjamaah dulu?”
Raa menunjuk
bangunan didepan mereka. Valent baru sadar ternyata mereka berdiri didepan
sebuah masjid.
“Oh, maaf.”
Vallent menggaruk tengkuknya yang tidak gatal. “Aku tidak sholat, aku
non-muslim.”
“Oh...” Raa
sedikit terkejut. “Maaf saya tidak
tahu.”
“Tidak
apa-apa. Aku akan menunggu disana.” Vallent menunjuk bangku di bawah pohon didekat
gerbang.
Raa
mengangguk dan berjalan masuk ke dalam masjid. Entah kenapa hatinya begitu
resah. Mungkin karena baru mengetahui ternyata Vallent seorang non-muslim, atau
mungkin sesuatu yang besar itu sedang bertarung dilubuk hatinya yang paling
dalam.
***
Hampir
setengah jam Raa baru keluar dari dalam masjid, ia melihat Vallent masih duduk
disana. Raa mengira Vallent sudah pergi karena ia terlalu lama. Tapi Vallent
benar-benar menunggunya. Vallent tersenyum menyadari Raa terdiam memandangnya,
ia segera menghampiri Raa yang segera menundukkan wajahnya.
“Anda belum
pulang?”
“Aku sudah
bilang akan menunggu.” Ucap Vallent “Ngomong-ngomong, jangan gunakan sapaan
formal begitu. Panggil saja Vallent, ok?”
Raa
mengangguk, kemudian berjalan mengikuti Vallent di belakang. Vallent yang baru
menyadari Raa berjalan agak jauh dibelakangnya berhenti, kemudian mensejajarkan
langkahnya. Tapi Raa justru berhenti dan berjalan di belakang Vallent lagi.
“Maaf,
bolehkan aku bertanya sesuatu?”
Vallent
menghentikan langkahnya. Raa mengangguk, Vallent menghela nafas gemas dengan
tingkah laku Raa yang selalu menjauhinya. Mereka berdiri di bawah pohon mahonni
yang berguguran.
“Saat kita
berbicara, ah tidak. Maksudku saat kau berbicara dengan orang lain, apa tidak pernah
menatap mata atau wajah mereka sekalipun?”
Sebenarnya
sudah lama Vallent ingin menanyakan hal itu. Ia pikir mungkin Raa melakukannya karena
baru mengenalnya. Tapi sudah beberapa kali mereka bertemu, Raa tidak pernah menatapnya
sekalipun. Padahal Vallent berharap bisa lebih sering menatap mata indah Raa.
Raa terdiam
sejenak, memikirkan kalimat apa yang harus ia gunakan untuk menjelaskan pada
Vallent.
“Itu, karena
kita berbeda.” Ucap Raa lirih.
Vallent
mengernyitkan dahinya, ia masih belum mengerti maksud Raa.
“Kau dan
aku, kita berbeda. Kau laki-laki dan aku perempuan, kita memiliki jarak yangg harus
dijaga.”
“Jarak? Aku
tidak mengerti jarak apa itu?”
Untuk
pertama kalinya Raa mengangkat wajahnya. Meskipun Raa masih enggan menatap
Vallent, tapi wajah Raa terlihat lebih jelas.
“Dalam Islam,
laki-laki dan perempuan memiliki dinding pembatas yang tegas. Semua memiliki
aturan, bahkan menatap satu sama lain ada batasnya. Perempuan dilarang
berdekatan selain dengan muhrimnya. Begitupun sebaliknya.”
“Muhrimnya?”
“Benar,
muhrim adalah yang sudah halal baginya atau memiliki hubungan darah. Misalnya
Ayah, Abang, atau suami.” Jelas Raa panjang lebar.
“Oh. Jadi
itu sebabnya kau selalu berjalan jauh dariku ya?”
Raa
mengangguk, ia kembali menundukkan wajahnya.
Vallent dua langkah mundur dari tempatnya. Ia tersenyum lebar.
“Baiklah,
apa jarak ini sudah cukup?”
Raa
menggelengkan kepalanya, lalu berjalan meninggalkan Vallent.
“berjalanlah
lima meter di belakangku.”
“Baiklah,
baiklah. Hanya lima meter kan!” ucap Vallent pura-pura kesal. Tapi samar-samar
senyum mengembang diwajah tampannya.
***
Pertemuan
keempat, kelopak bunga dari surga. Pertemuan Vallent dan Raa semakin sering,
Vallent yang sengaja memutar jalan pulang agar bertemu Raa, atau pertemuan yang
benar-benar kebetulan. Pertemuan mereka masih sama, hanya sekadar berpapasan
pulang atau mengobrol di halte bus. Tidak lebih dan tidak pernah berkembang.
Tapi bagi Vallent itu sudah cukup, saat bersama Raa ia merasakan kenyamanan
yang tidak pernah dirasakan dari perempuan manapun. Begitupun dengan Raa, semakin
sering ia bertemu Vallent perasaan ganjil dihatinya semakin berkembang. Ia
hanya merasa suka saat bertemu dengan Vallent, ia hanya suka mendengar
laki-laki itu berceloteh tidak peduli ia hanya diam. Raa yakin perasaan
diciptakan oleh Tuhan, maka ia juga yakin jawaban yang paling tepat adalah
jawaban Tuhan.
Keluarga
Vallent adalah keluarga Kristen yang taat. Sejak kecil ia dididik dengan nilai
agama yang kuat. Vallent tidak pernah meninggalkan sembahyang setiap minggu di
gereja, ia bahkan aktif dalam beberapa acara amal yang diadakan gereja besar Jakarta.
Sedangkan Raa, lahir dari keluarga Islam yang ketat. Ayahnya salah satu pemuka
agama di kotanya. Meskipun Raa tinggal di Jakarta dengan saudaranya,
nilai-nilai agama yang melekat padanya sedikit pun tidak berkurang.
Pertemuan
terakhir di halte bus dengan Raa membicarakan banyak hal. Vallent tahu Raa suka
membaca berbagai jenis buku, juga selalu datang setiap minggu ke salah-satu
toko di jakarta. Vallent buru-buru pergi setelah sembahyang di gereja berakhir.
Tidak biasanya ia menggunakan kendaraan pribadi, tapi hari minggu jalanan
Jakarta agak lengang membuat Vallent memilih mengemudikan mobilnya.
Setelah
berputar beberapa kali di toko buku, Vallent tidak menemukan Raa. Ia lupa
bertanya pukul berapa biasanya Raa mengunjungi toko buku. Akhirnya Vallent
menuju rak buku kesukaannya, arsitektur dan desain. Waktu tidak akan terasa
jika diisi dengan hal yang disukai. Mungkin Vallent sudah berdiri selama dua
jam hingga kakinya terasa kebas. Vallent memutuskan untuk pulang, tapi sosok
yang berdiri di ujung salah satu deretan rak buku menarik perhatiannya.
Perempuan yang mengenakan longdress
dan jilbab panjang berwarna pink pastel itu sudah pasti Raa. Vallent berjalan
mendekati Raa.
“Assalamualaikum.”
Raa menoleh,
tapi ia hanya diam. Tidak berniat menjawab salam dari Vallent. Vallent terlihat
kesal diabaikan.
“Kau tidak
menjawab salamku?”
Raa meletakkan
buku yang ia baca, menghadap Vallent seperti biasa tanpa menatapnya.
“Gunakan
saja sapaan biasa, tidak perlu mengucakan salam.” Jawab Raa.
“Kenapa?
Memangnya salah menjawab salamku, aku sering melihat kalian saling mengucapkan
salam saat bertemu.” Vallent mengernyitkan dahinya.
Raa
lagi-lagi terdiam, memikirkan kalimat yang harus ia jelaskan pada Vallent.
“Ya, tapi
kami hanya menggunakan salam untuk sesama muslim.”
“Kenapa
begitu? Itu diskriminasi sosial.” Protes Vallent.
“Karena
salam itu adalah bagian dari doa yang ditujukan bagi sesama muslim.”
“Oh,
begitu.” Vallent mengangguk-angguk. “Apa yang kau baca?”
Raa hanya
menunjuk salah satu buku yang ada di rak. Vallent sedikit tersenyum melihat
judul buku yang Raa tunjuk.
“Wah, nama-nama
bayi ya?” Goda Vallent.
Raa memiringkan
kepalanya, ia mengambil buku itu karena tampilan covernya yang menarik. Raa
lalu berjalan menelusuri rak buku sebelahnya. Vallent menghela nafas, lagi-lagi
ia diabaikan.
“Hei
Khumaira Azzahra, kau mendengarku?”
Raa
membalikkan badannya, terkejut karena Vallent menyebut nama lengkapnya. Raa
tidak menyangka Vallent mengingat namanya.
“Apa
artinya, namamu?” Vallent menghampiri Raa, mereka berdiri berhadapan.
“Khumaira
Azzahra. Pipi merah, julukan untuk perempuan cantik seperti bunga dari surga. ”
ucap Raa menerawang pemandangan jalan dari kaca besar disana.
“Benar,
bunga dari surga. Hmm nama yang indah.”
Vallent
tersenyum, ternyata artinya memang indah. Saat pertama kali berkenalan Raa
menyebutkan nama lengkapnya. Biasanya Vallent sulit mengingat nama lengkap
orang lain apalagi jika penyebutannya terlalu sulit. Tapi pertama kali
mendengar nama Raa, Vallent menyukai nama unik Raa.
“Lalu siapa
nama lengkapmu?”
Sebenarnya
sudah lama Raa penasaran dengan nama lengkap Vallent. Tapi ia selalu
mengurungkan niatnya untuk bertanya.
“Vallent Bayu
Sagrada.” Jawab Vallent.
“Apa
artinya?”
“Oh, itu
agak sedikit panjang. Dulu aku lahir di Vallencia, jadi Ibu memberi nama yang
mirip dengan tempatku lahir. Sedangkan Sagrada adalah gereja terindah yang ada
di Spanyol, dan Bayu artinya angin. Ayah mengatakan jika digabungkan artinya
Angin yang membawamu ketempat terindah.” Jelas Vallent panjang lebar.
Raa
mengangguk mengerti. Ia hanya mengira Vallent nama panggilan yang unik.
Harusnya ia bertanya sejak awal, jadi ia bisa menebak jika Vallent berbeda
keyakinan dengannya. Banyak orang yang mengatakan apalah arti sebuah nama. Tapi
sebenarnya nama adalah doa yang selalu dipanjatkan saat seseorang
menyebutkannya.
***
Pertemuan
kelima, bukan tak mungkin tapi memang tak bisa. Terakhir kali bertemu di toko
buku, Vallent memberikan selembar undangan pada Raa. Vallent ingin Raa datang
ke pameran arsitektur yang digelar temannya dari Yogyakarta. Raa bersikeras
menolak dengan alasan tak tertarik tentang arsitek. Sebenarnya ia hanya tak mau
bertemu Vallent. Semakin sering bertemu dengan Vallent maka perasaannya semakin
tidak bisa dibohongi. Setiap kali bertemu dengan Vallent jantungnya berdegup
kencang. Raa menyadari perasaan itu cinta, tapi itu adalah cinta yang salah.
Maka perasaan itu semakin ia tikam. Bagi Raa cinta bukan hanya masalah
perasaan, Vallent bukan tempat bagi perasaannya.
Vallent
bukan jenis orang yang mudah menyerah. Setelah Raa menolak datang ia justru
sengaja menunggu Raa didepan Sekolah. Vallent tidak ingin datang sendirian,
apalagi saat berkumpul dengan teman-teman dan pasangannya yang turut serta. Ia akan
selalu menjadi target mak comblang. Sebenarnya, Vallent bisa mendapatkan
perempuan mana pun. Apalagi statusnya yang mapan dan fisiknya yang rupawan.
Hanya saja Vallent belum menemukan perempuan yang pas, kecuali Raa yang selalu
menarik perhatiannya.
Raa berjalan
keluar bersama perempuan dari salah satu ruang kelas. Raa terkejut saat
mendapati Vallent duduk di dekat ayunan, tersenyum dan melambaikan tangan
padanya. Perempuan muda itu menyikut siku Raa saat melihat Vallent datang
menghampiri mereka. Raa yang masih terkejut hanya terdiam kaku.
“Apa ini
laki-laki yang orang tua uhkti kenalkan itu?” Celetuk perempuan itu.
Vallent
mengernyitkan dahinya, sepertinya teman Raa itu salah mengira ia dengan dengan
laki-laki lain.
“Oh bukan.”
Jawab Raa cepat “Alma, pulanglah dulu. Nanti aku telepon.”
Perempuan
yang di sapa Alma mengangguk. Vallent menatap Alma yang sudah menghilang
dibalik gerbang dan Raa secara bergantian. Ia tidak salah dengar, perempuan itu
bertanya tentang laki-laki lain.
“Apa yang
membuatmu datang kemari?” Tanya Raa dengan sopan.
“Laki-laki
yang orang tuamu kenalkan?” Vallent mengulangi kata-kata Alma, ia memastikan
apa yang didengarnya.
“Maaf, apa
yang kau lakukan disini?” Raa tidak menggubris pertanyaan Vallent.
“Apa kau
sedang dikenalkan dengan seorang laki-laki?”
Vallent
masih terpaku pada pertanyaannya, lebih tepat perasaan aneh yang tiba-tiba
menjalari hatinya saat mendengar kata “laki-laki” lain. Raa hanya diam, dengan
kesal berjalan pergi. Vallent menyusul Raa, mensejajarkan langkahnya dengan
Raa. Entah kenapa perasaan Vallent jadi semakin gundah.
“Kau
dijodohkan?” Vallent masih belum menyerah mendapat jawaban dari Raa. “Hey Raa,
aku bertanya padamu.”
“Maaf, tapi
kenapa kamu ingin tahu. Itu bukan urusan yang perlu kamu ketahui.”
“Apa kau
sudah bertemu laki-laki itu?” Vallent menghadang Raa, kedua alisnya yang tebal
berkerut. Raa baru menyadari ternyata wajah Vallent saat ini terlihat kaku. Raa
segera memalingkan wajahnya.
“Maaf, hari
ini aku sangat lelah.”
Raa hanya
bisa mengucapkan kata itu dengan lirih. Saat ini ia butuh waktu untuk berpikir.
Kemarin usai sholat magrib, orangtuanya di Solo menelepon. Mereka bilang ada
seorang kerabat yang ingin memperkenalkan Raa dengan mantan mahasiswanya yang menjadi
dosen muda di salah satu universitas Islam di Solo.
“Oh ayolah
Raa, aku hanya ingin mendengar penjelasan darimu.” Desak Vallent.
“Tidak ada
yang perlu dijelaskan.” Tegas Raa “Kamu bukan siapa-siapa yang perlu mendengar penjelasanku.”
Vallent terdiam
mendengarnya. Raa menyadari ucapannya tadi melukai perasaan Vallent.
“Ya benar.
aku memang bukan siapa-siapa.” Vallent menatap mata Raa dalam, berusaha
menunjukkan kejujuran melalui matanya.
”Kalau aku
menjelaskan perasaanku sekarang padamu, apa kau akan mengerti?”
Raa terasa
hancur berkeping-keping. Ia tidak ingin mendengar kalimat itu keluar dari mulut
Vallent, karena ia tahu benar perasaan seperti apa yang Vallent maksud. Raa
sudah berusaha dengan keras menutupinya. Perasaannya pada Vallent sesuatu yang
tak seharusnya tumbuh.
“Jika aku
katakan aku menyukaimu, apa kau akan mengerti?”
“Tolong
jangan bicara seperti itu.”
“Apa bagimu
perasaanku tidak penting? Lalu bagaimana dengan perasaanmu sendiri?”
Vallent menatap
Raa dalam, mencoba mencari kejujuran dari sinar matanya. Untuk waktu yang lama
mereka saling berpandangan. Tanpa kata, tapi menyiratkan luka dihati
masing-masing yang dalam.
“Perasaan
itu tidak seharusnya tumbuh. Perasaanku atau perasaanmu mungkin hanya tersesat,
dan satu-satunya jalan terbaik adalah kembali.” Raa hanya bisa menjawab dengan sendu.
“Apakah aku
tidak bisa menjadi tempat bagi perasaanmu?”
“Tidak,
tempat itu bukan untukku. Bukan tak mungkin, tapi memang tak bisa. Tuhanku dan
Tuhanmu, sejak awal kita diciptakan dari jalan yang berbeda.”
Matahari
terbenam perlahan bersama angin dan kesunyian yang meliputi keduanya. Hanya ada
dua hal yang pasti di dunia ini, jika hari ini matahari terbenam maka esok
matahari akan terbit. Bagi Raa perasaan adalah milik Tuhan, maka semua akan
kembali pada-Nya. Dan bagi Vallent, Raa adalah perempuan terindah yang
diciptakan oleh Tuhan yang tak pernah bisa ia sentuh.
“Kalau
begitu tanyakan pada Tuhanmu, tidak bisakah aku yang bukan hamba-Nya memiliki
keindahan ciptaan-Nya?”
Itulah
percakapan terakhir antara Vallent dan Raa. Senja berganti malam, malam
berganti pagi, pagi berganti siang, dan terus terulang. Hidup akan tetap
berjalan. Tapi satu yang pasti, perasaan dua insan itu tak bisa menyatu karena
kedalaman yang tak pernah bisa mereka raih.
***
Pertemuan
tak terduga, jurang pembatas yang tak berdasar. Saat dua orang saling mencintai
bukan berarti mereka akan ditakdirkan bersama. Tuhan lebih tahu yang terbaik,
mungkin kehilangan adalah cara Tuhan menyelamatkanmu dari cinta yang salah. Raa
selalu percaya akan hal itu, tak mau cintanya pada sesuatu menjadikan buta dan
tuli. Seperti yang Ibunya selalu katakan, cinta pada manusia tidak boleh
melebihi cinta pada pencipta. Itulah yang selalu terpatri di hatinya.
Tidak ada
jawaban, tidak ada kata-kata lain setelah percakapan terakhir. Vallent dan Raa
membiarkan semuanya mengalir tak pasti. Hingga sore di bulan panas itu, setelah
sepekan berlalu Raa dan Vallent bertemu di halte bus. Raa menundukkan wajahnya menghindari tatapan
Vallent. Tapi Vallent tahu Raa menyembunyikan luka di hatinya.
“Ada satu
tempat yang ingin aku perlihatkan padamu.” Valent berdiri disamping Raa, ia
menatap lurus kejalan raya yang lengang.
Raa
mengangkat wajahnya menatap Vallent dari jarak yang cukup dekat, garis wajahnya
yang tegas, alisnya yang tebal, hidungnya yang mancung dan bibir ranum yang
tipis. Raa segera menyingkirkan pikiran melanturnya.
“Tempat apa
itu?”
“Jika kau
tidak keberatan, mau datang bersamaku?” Vallent mengulas senyum tipis.
Sepanjang
perjalanan sampai tujuan tidak ada percakapan yang terjadi. Keduanya diam
membisu, hanya duduk di bangku yang berseberangan. Lalu sibuk pada pikiran
masing-masing. Raa berjalan dua langkah di belakang Vallent menuju deretan
bangunan perumahan. Vallent menyapa beberapa pekerja, dan meperkenalkan Raa
sebagai tamunya.
“Ini adalah
proyek perumahan pertama yang aku tangani.”
Vallent menuntun
Raa masuk kesalah-satu bangunan. Vallent membuka pintu, Raa dapat melihat jelas
isi didalamnya. Semua sudah tertata rapi, lengkap dengan perabotannya.
“Aku ingin
kau melihatnya. Konsepnya adalah kenyamanan, bagaimana menurutmu?”
Saat pertama
kali mendapat proyek pembangunan rumah, Vallent tidak begitu yakin apakah bisa
membuat desain rumah yang nyaman bagi sebuah keluarga. Ia tidak punya referensi
apapun sebelumnya. Tapi setelah bertemu Raa, ia seperti menemukan apa itu
sebuah kenyamanan. Rumah yang didalamnya penuh cinta, rumah yang anggun namun
sederhana seperti Raa.
“Menurutmu, seperti
apa itu rumah yang nyaman?” Vallent menghampiri Raa yang berdiri didepan
jendela kaca besar menghadap taman.
“Rumah yang
nyaman?”
Vallent
mengangguk, menantikan jawaban Raa.
“Bukankah
semua rumah akan terasa nyaman jika keluarga berkumpul?”
Raa balik
bertanya. Vallent mengembangkan senyumnya, ia sudah bisa menebak jawaban Raa
selalu sederhana.
“Tapi, aku
lebih suka rumah yang bercahaya.” Ucap Raa “Rumah yang selalu diisi lantunan
ayat surga. Bercahaya bagi penduduk langit yang melihatnya.”
Raa dan Vallent
sama-sama terdiam, menikmati bergantinya senja menjadi malam dari balik jendela
besar.
“Apakah
tidak bisa?” Tanya Vallent lirih “Tidak bisakah dua orang yang berbeda menyatu berlandaskan
cinta?”
Vallent
menoleh, mengamati siluet wajah Raa yang bercahaya karena pantulan cahaya lampu
yang mulai menyala.
“Tidak.”
Jawab Raa “Saling mencintai bukan berarti ditakdirkan bersama. Bagiku tidak ada
cinta yang lebih besar daripada cinta Tuhan. Dan jurang antara kita, membentang
dan tak berdasar.”
“Jurang bisa
dilewati dengan membangun jembatan bukan?”
“Kita tidak
akan pernah tahu kapan badai datang, kapan salju turun, dan kapan petir
menyambar. Tidak ada jaminan hanya dengan membangun sebuah jalan menyeberang.”
“Kalau
begitu yang diperlukan hanya pondasi yang kuat.” Vallent melirik perempuan
disebelahnya yang tak bergeming sedikit pun.
“Ya, dan sejak
awal pondasi kita berbeda.”
Ucapan
terakhir Raa membungkam Vallent. Dibalik sikap Raa yang lembut dan anggun, ia
adalah sosok perempuan yang tegas. Hal itu yang membuat Vallent mengagumi Raa.
Tapi sejak awal ia sendiri sadar, jurang yang membentang diantara mereka tak
berdasar dan tak bisa dilewati. Keyakinannya adalah hidupnya, sedangkan
keyakinan Raa adalah hidup Raa.
“Aku pernah
berandai. Jika aku dilahirkan kembali, aku ingin terlahir seiman denganmu,
menjadi imam setiap sholatmu, menjadi nahkoda hidupmu.” Vallent tersenyum kecut.
“Tapi, aku
hanya berharap di kehidupan selanjutnya kita dapat bersama.”
Raa
mengalihkan wajahnya, meremas jarinya yang mulai dingin. Entah karena angin
malam atau karena hatinya.
“Tidak. Bahkan
di kehidupan selanjutnya kita tidak akan bisa bersama.”
Percakapan
terakhir sebelum malam benar-benar menutup luka. Tidak ada kata, tidak juga
bahasa. Yang ada hanya nafas dua insan yang saling mengucapkan selamat tinggal
dan terima kasih.
Selalu ada
jalan bagi hati yang tersesat, selalu ada obat bagi hati yang terluka. Ketika
Tuhan memberimu sebuah perasaan cinta pada sesama manusia, mungkin Tuhan sedang
menguji seberapa besar rasa cintamu pada-Nya.
***
Ketika pagi
terbit di pelupuk mata untuk yang kesekian kalinya, inilah pertemuan terakhir.
Bunga dari surga dan angin yang terbang ketempat terindah. Vallent dan Raa,
tidak ada kata sepakat hanya karena alasan cinta lalu melanggar batas keyakinan
dan mengorbankan semua demi cinta. Bagi Vallent dan Raa, cinta insan yang
dewasa amat sederhana. Tidak bisa diputuskan seperti membalikkan tangan. Maka
keduanya memutuskan untuk tetap berada pada jalur yang semestinya. Karena mereka
sadar tidak bersama bukan berarti tidak cinta.
Tidak ada
sebuah kebetulan, semua adalah skenario Tuhan. Seperti kembali pada awal mula
Vallent dan Raa bertemu. Takdir seperti mempermainkan mereka, membawa kembali
pada pertemuan yang tak disengaja. Mungkin inilah yang dinamakan dengan cara
Tuhan memberikan jawaban atas segala doa.
“Aku
mendapat tawaran bekerja di Jepang.” Vallent menoleh pada Raa yang berdiri tak
jauh darinya.
Keduanya
bertemu di tempat dan waktu yang tak disangka, seperti mengulang pertemuan
kedua. Dihalte pertama kali mereka saling menyapa.
“Kabar yang
baik, selamat.”
“Ya, terima
kasih.”
“Lalu, apa
kau akan menetap disana?”
“Mungkin,
jika aku menemukan perempuan sepertimu.” Vallent menyengir lebar.
Tak tahu
kenapa Raa terkekeh ringan mendengarnya. Untuk pertama kali Vallent melihat
gadis itu tertawa. Ia merasa dunia Raa sangat menakjubkan.
“Tentu saja,
kau akan menemukan perempuan yang baik.” Ucap Raa tulus.
“Ya, dan kau
juga harus temukan laki-laki yang lebih baik dariku.” Vallent berpura-pura
memperingati Raa “Oh, aku sangat iri pada laki-laki yang akan mendapatkanmu!
Hahaha.”
Vallent dan
Raa tersenyum, seperti baru saja melepas ribuan kupu-kupu terbang ke udara. Raa
maupun Vallent merasa hatinya menjadi lega.
“Hiduplah
dengan bahagia.”
“Ya, dan kau
juga.”
Vallent
menoleh, dipandanginya wajah Raa lekat-lekat. Mungkin ini adalah terakhir
kalinya ia dapat menatap wajah perempuan itu.
“Terima
kasih.” Ucap Raa sendu.
Vallent
mengangguk, membayangkan tangannya membelai Raa lembut. Tapi semua itu hanyalah
bayangan fatamorgana.
“Selamat
tinggal.”
“Ya, selamat
tinggal.”
Untuk waktu
yang lama Vallent dan Raa saling berpandangan, lalu saling menyungingkan senyum
tipis. Vallent membalikkan badannya begitu pun dengan Raa, berjalan saling
berlawanan. Tidak dengan sepatah kata, hanya simpul luka yang kemudian menjadi
bahagia. Seperti adegan benang merah terikat yang perlahan terlepas, begitu pun
cinta keduanya.
Bagi
Vallent, Raa adalah bunga dari surga yang paling indah. Ia mencintai Raa tapi
Tuhan lebih mencintai Raa. Ia menginginkan Raa tapi Tuhan memiliki Raa. Semua
sederhana, karena cinta juga sederhana. Seperti cinta keduanya yang sederhana. Karena
cinta yang sesungguhnya adalah cinta yang dapat memutuskan dimana tempatnya.
“Katakan pada Tuhanmu, terima kasih karena sudah mengizinkanku
bertemu perempuan terindah-Nya. Kau, adalah bunga terindah dari surga.”-Vallent.
Tamat
Tentang Cerpen "Bunga dari Surga"
Ini adalah proyek cerpen bertema romance religi pertama yang saya tulis di tahun 2015. Bukan tidak mungkin tahun berikutnya akan ada proyek dengan tema baru yang tidak pernah saya rambah sebelumnya. Cerpen ini melewati beberapa kali seleksi judul dan bagian cerita yang saya hapus. Sempat ada keraguan akan diposting atau tidak, tapi penulis bersyukur karena akhirnya tahap akhir dapat diselesaikan. Terima kasih para pembaca yang selalu setia menunggu tulisan saya. Semoga setiap tinta yang saya goreskan akan bermanfaat bagi pembaca. Tidak lupa saya mohon kritik dan saran sebagai evaluasi setiap tulisan saya.
Salam penulis, Sae.
Tidak ada komentar :
Posting Komentar