Rain

Rain Cloud

Sabtu, 14 November 2015

Cerpen “Bunga dari Surga”



Sebuah cerpen penyiram jiwa, tentang cinta, perbedaan, dan keindahan surga.

“Bunga dari Surga”

Oleh : Sae



“Tanyakan pada Tuhanmu, tidak bisakah aku yang bukan hamba-Nya memiliki keindahan ciptaan-Nya?”

Pertemuan pertama, Sejak matanya tak sengaja bertatapan dengan perempuan dalam commuterline menuju ibukota, Vallent masih tersihir oleh cahaya yang seakan memancar dari bola mata coklatnya. Jika kebanyakan perempuan yang bertatapan atau sengaja menatapnya selalu terpesona, kali ini sungguh berbeda. Perempuan itu justru mengalihkan pandangan, menunduk dengan cepat.  Vallent menghitung satu sampai tiga, tidak seperti perempuan lain yang akan menoleh dalam hitungan tiga lalu menunjukkan senyum termanisnya. Perempuan itu justru tak bergeming. Entah kenapa Vallent merasa resah, padahal ia ingin menyusup lebih dalam bola mata coklat yang membuat hatinya bergetar. Vallent tetap waspada, siapa tahu wanita itu tertangkap basah mencuri pandang, tapi sampai akhir perjalanan perempuan itu tidak berniat menatapnya.

***

Biasanya Vallent hanya butuh tiga puluh menit menuju kantornya. Kali ini ia harus menempuh perjalanan panjang dari Depok ke Jakarta. Beberapa hari lalu ia diberi tugas untuk menggantikan atasannya menghadiri sebuah acara di Universitas Indonesia. Ia bertemu dengan sahabat karib dari Yogyakarta. Karena lama tidak bertemu mereka mengobrol panjang dan bernostalgia saat masih menjadi mahasiswa. Sesampainya di kantor, beberapa berkas menumpuk di meja. Bekerja di perusahaan pembangunan besar di usia dua puluh delapan tahun, Vallent dikategorikan sebagai arsitek muda berbakat. Ia lulus dengan nilai camlaud dari universitas terbaik Yogyakarta dan langsung mendapat tawaran kerja di beberapa perusahaan ternama. Tapi Vallent memutuskan kembali ke Jakarta agar dapat berkumpul bersama keluarga besarnya.

Vallent kembali pada rutinitas kerjanya, memeriksa proposal pembangunan dan melanjutkan desain yang belum sempat diselesaikan. Ini adalah proyek pertama membuat desain rumah impian keluarga karena ia selalu menangani desain pusat perbelanjaan atau perkantoran sebelumnya. Saat bekerja Vallent seperti memiliki dunianya sendiri, bersama penggaris, pensil dan berbagai garis. Tapi kali ini ia tidak bisa fokus, mata coklat perempuan itu masih terbayang. Ia tidak bisa memahami dirinya sendiri, bagaimana mungkin tatapan yang begitu singkat membuat jantungnya berdetak kencang. Lebih aneh lagi perempuan itu sangat jauh dari tipe idealnya, perempuan itu berjilbab. Vallent merasa ada sesuatu yang tidak masuk akal pada dirinya.

***

Raa tidak terbiasa naik commuterline, terhitung hanya beberapa kali. Ia tidak bisa masuk ke gerbong khusus wanita karena terlalu penuh dan berdesak-desakan. Terpaksa Raa masuk kegerbong campuran. Menunggu kereta selanjutnya akan membuatnya terlambat bekerja. Sepupunya menawarkan untuk mengantar, tapi ia tidak enak karena sudah merepotkan. Untung saja Raa mendapat tempat duduk didalam kereta. Ia tak perlu berdiri selama perjalanan pulang ke Jakarta. 

Raa segera menundukkan wajahnya saat tidak sengaja bertatapan dengan seorang laki-laki didalam commuterline. Ia sangat menjaga pandangan, apalagi dengan lawan jenis. Tapi Raa merasa aneh, tatapan yang tidak lebih dari dua detik itu menggelitik hatinya. Raa ingin menatap laki-laki itu sekali lagi, namun Ia tersadar.  Jika tatapan pertama keberuntungan, maka tatapan kedua adalah dosa.

Perjalanan tiga puluh menit hingga stasiun tujuan. Raa merapikan jilbab panjangnya. Setelah turun dari kereta , ia melihat laki-laki itu berjalan beberapa langkah didepannya. Lengan kemejanya digulung tiga perdelapan, ranselnya digendong disebelah lengan kanan. Rambutnya rapi meskipun terlihat agak lebat. Tidak seperti pegawai kantoran yang taat berpakaian, gayanya terlampau santai. Menyadari pikirannya melayang, Raa buru-buru masuk kesalahsatu taksi yang berjajar didepan stasiun menuju tempat kerja.

Jalan Jakarta macet seperti biasa. Raa menyesal menggunakan taksi. Seharusnya ia berhemat karena biasanya pergi bekerja naik angkot. Raa mengajar di taman kanak-kanak sekitar Casablanka. Sejak dulu Raa suka anak-anak, itulah sebabnya ia bersyukur karena bisa menjadi salah satu pengajar disana.

***

Pertemuan kedua, seperti dua sisi mata koin. Vallent menyelesaikan desain dengan cepat. Mungkin lusa bisa memulai proyek barunya. Ia sengaja pulang lebih awal untuk melihat lokasi pembangunan. Vallent jenis orang yang lebih suka menggunakan transportasi umum. Kemacetan disebabkan karena kebiasaan orang Indonesia yang lebih suka menggunakan kendaraan pribadi. Setelah sampai dihalte terdekat, Vallent menyapu pandang sekelilingnya, hanya ada beberapa orang disana. Tapi matanya tertuju pada sosok perempuan yang berdiri didepan papan informasi. Ia masih ingat jelas wajah perempuan itu, lebih tepat warna bola matanya. Vallent merasa jantungnya berdegup kencang.

Raa berdiri didepan papan informasi. Seorang Bapak tua datang mendekat dan bertanya bus yang harus ia gunakan menuju alamat disecarik dikertas. Raa tersenyum, dengan sopan membantu Bapak tua mencari rute bus yang harus digunakan. Tapi Raa sedikit bingung karena alamat yang tertera disana tidak lengkap. Bapak tua itu terlihat putus asa.

“Maaf, ada yang bisa saya bantu?” Seseorang tdatang dan menawarkan bantuan.

Pak tua dengan senang hati menanyakan alamat yang tertera di kertas. Sedikit banyak Vallent hafal dengan daerah di Ibu Kota. Dengan sabar Vallent menjelaskan rute bus yang harus dinaiki. Setelah cukup jelas, Bapak tua itu berterima kasih dan pergi, tinggal Vallent dan Raa yang masih berdiri didepan papan informasi. Raa menyadari hanya mereka berdua yang tersisa dan segera melangkah mundur. Vallent tersenyum geli melihatnya.

“Jangan khawatir. Aku bukan orang jahat, kok.”

“Oh, maaf.”

Raa menundukkan kepalanya, ia tidak terbiasa berbicara dengan menatap wajah lawan jenisnya. Ia selalu menjaga jarak dengan laki-laki yang bukan muhrimnya.

“Terima kasih sudah membantu.”

“Ya, sama-sama.”

Vallent tersenyum simpul. Ia tidak menyangka akan bertemu lagi secara kebetulan. Ajaib, pikirnya.

“Oh ya, aku Vallent.” Vallent mengulurkan tangan kanannya.

Raa sama sekali tidak terlihat akan menjabat tangan Vallent. Ia hanya mengatupkan kedua tangannya didepan dada.

“Saya Raa, Khumaira Azzahra.”

Vallent baru menyadari bahwa Raa tidak menjabat tangannya, ia segera menarik tangannya. Tapi Vallent sudah cukup senang mengetahui nama perempuan itu, nama yang indah.

 “Sepertinya aku pernah melihatmu.”

Vallent memulai percakapan setelah Raa hanya berdiri diam selama menunggu bus yang tak kunjung datang.

“Oh, benarkah?” Raa sedikit menoleh, tapi wajahnya menunduk.

“Hmmm.” Vallent sedikit kecewa. Perempuan itu hanya berbicara seperlunya, bahkan tak mau menatapnya.

“Ngomong-ngomong, apa kau bekerja disekitar sini?”

“Ya, saya mengajar disekitar sini.”

“Jadi kau seorang guru? SD, SMP atau SMA?” Tanya Vallent antusias.

“Taman Kanak-kanak.”

Vallent mengangguk-angguk, perempuan itu pasti menyukai anak-anak. Tanpa sadar senyumnya terkembang.

“Wah, kalau begitu kita akan sering bertemu.” Jawab Vallent dengan antusias.

“Ya?” Raa tidak mengerti kenapa laki-laki itu terlihat gembira dari nada suaranya.

“Ah maksudnya, kebetulan aku sedang mengerjakan proyek disekitar sini. Jadi kita akan sering bertemu.”

Bus yang ditunggu akhirnya datang, Raa segera naik disusul Vallent dibelakangnya. Valent mengambil posisi duduk tepat dibelakang Raa. Entah kenapa perasaan Raa menjadi aneh setelah bertemu dengan Vallent. Ia bahkan terkejut saat Vallent terus memulai percakapan dengannya. Tapi sepanjang perjalan tidak ada lagi percakapan diantara keduanya sampai turun di tujuan masing-masing.

***

Pertemuan ketiga, ditakdirkan berbeda. Sudah sepekan sejak Vallent bertemu Raa. Vallent berharap berpapasan atau bertemu Raa. Vallent sengaja melewati jalan memutar dari kantor proyeknya. Ia mengamati daerah sekitar, berharap menemukan Sekolah tempat Raa mengajar. Tapi Vallent tidak menemukan Sekolah Taman Kanak-kanak, ia menyerah dan memutuskan pulang. Saat melewati persimpangan jalan, Ia melihat Raa sedang mengobrol bersama seorang perempuan. Vallent menghampiri Raa setelah perempuan itu pergi. Raa sedikit terkejut saat melihat Vallent menghampirinya.

“Oh Raa, kita bertemu lagi.” Ucap Vallent sumringah.

Raa mengangguk kecil, tidak menyangka akan berpapasan dengan Vallent lagi.

“Baru pulang mengajar?”

“Ya.”

Vallent mengangguk-angguk paham. Vallent diam-diam memperhatikan Raa, perempuan itu masih sama. Mata coklatnya masih indah walau terlihat lelah, wajahnya putih dan bersih. Vallent tidak pernah melihat perempuan berjilbab yang terlihat anggun seperti Raa sebelumnya, lebih tepatnya ia tidak pernah tertarik memperhatikan mereka.

“Kebetulan sekali bertemu, mari ke halte bersama.” Ajak Vallent semangat.

Raa melirik jam tangannya, lalu menyapu pandangan kesekeliling.

“Sebentar lagi Azhar, Apakah anda tidak ingin ikut sholat berjamaah dulu?”

Raa menunjuk bangunan didepan mereka. Valent baru sadar ternyata mereka berdiri didepan sebuah masjid.

“Oh, maaf.” Vallent menggaruk tengkuknya yang tidak gatal. “Aku tidak sholat, aku non-muslim.”

“Oh...” Raa sedikit terkejut.  “Maaf saya tidak tahu.”

“Tidak apa-apa. Aku akan menunggu disana.” Vallent menunjuk bangku di bawah pohon didekat gerbang.

Raa mengangguk dan berjalan masuk ke dalam masjid. Entah kenapa hatinya begitu resah. Mungkin karena baru mengetahui ternyata Vallent seorang non-muslim, atau mungkin sesuatu yang besar itu sedang bertarung dilubuk hatinya yang paling dalam.

***

Hampir setengah jam Raa baru keluar dari dalam masjid, ia melihat Vallent masih duduk disana. Raa mengira Vallent sudah pergi karena ia terlalu lama. Tapi Vallent benar-benar menunggunya. Vallent tersenyum menyadari Raa terdiam memandangnya, ia segera menghampiri Raa yang segera menundukkan wajahnya.

“Anda belum pulang?”

“Aku sudah bilang akan menunggu.” Ucap Vallent “Ngomong-ngomong, jangan gunakan sapaan formal begitu. Panggil saja Vallent, ok?”

Raa mengangguk, kemudian berjalan mengikuti Vallent di belakang. Vallent yang baru menyadari Raa berjalan agak jauh dibelakangnya berhenti, kemudian mensejajarkan langkahnya. Tapi Raa justru berhenti dan berjalan di belakang Vallent lagi.

“Maaf, bolehkan aku bertanya sesuatu?”

Vallent menghentikan langkahnya. Raa mengangguk, Vallent menghela nafas gemas dengan tingkah laku Raa yang selalu menjauhinya. Mereka berdiri di bawah pohon mahonni yang berguguran.

“Saat kita berbicara, ah tidak. Maksudku saat kau berbicara dengan orang lain, apa tidak pernah menatap mata atau wajah mereka sekalipun?”

Sebenarnya sudah lama Vallent ingin menanyakan hal itu. Ia pikir mungkin Raa melakukannya karena baru mengenalnya. Tapi sudah beberapa kali mereka bertemu, Raa tidak pernah menatapnya sekalipun. Padahal Vallent berharap bisa lebih sering menatap mata indah Raa.
Raa terdiam sejenak, memikirkan kalimat apa yang harus ia gunakan untuk menjelaskan pada Vallent.

“Itu, karena kita berbeda.” Ucap Raa lirih.

Vallent mengernyitkan dahinya, ia masih belum mengerti maksud Raa.

“Kau dan aku, kita berbeda. Kau laki-laki dan aku perempuan, kita memiliki jarak yangg harus dijaga.”

“Jarak? Aku tidak mengerti jarak apa itu?”

Untuk pertama kalinya Raa mengangkat wajahnya. Meskipun Raa masih enggan menatap Vallent, tapi wajah Raa terlihat lebih jelas.

“Dalam Islam, laki-laki dan perempuan memiliki dinding pembatas yang tegas. Semua memiliki aturan, bahkan menatap satu sama lain ada batasnya. Perempuan dilarang berdekatan selain dengan muhrimnya. Begitupun sebaliknya.”

“Muhrimnya?”

“Benar, muhrim adalah yang sudah halal baginya atau memiliki hubungan darah. Misalnya Ayah, Abang, atau suami.” Jelas Raa panjang lebar.

“Oh. Jadi itu sebabnya kau selalu berjalan jauh dariku ya?”

Raa mengangguk, ia kembali menundukkan wajahnya.  Vallent dua langkah mundur dari tempatnya. Ia tersenyum lebar.

“Baiklah, apa jarak ini sudah cukup?”

Raa menggelengkan kepalanya, lalu berjalan meninggalkan Vallent.

“berjalanlah lima meter di belakangku.”

“Baiklah, baiklah. Hanya lima meter kan!” ucap Vallent pura-pura kesal. Tapi samar-samar senyum mengembang diwajah tampannya.

***

Pertemuan keempat, kelopak bunga dari surga. Pertemuan Vallent dan Raa semakin sering, Vallent yang sengaja memutar jalan pulang agar bertemu Raa, atau pertemuan yang benar-benar kebetulan. Pertemuan mereka masih sama, hanya sekadar berpapasan pulang atau mengobrol di halte bus. Tidak lebih dan tidak pernah berkembang. Tapi bagi Vallent itu sudah cukup, saat bersama Raa ia merasakan kenyamanan yang tidak pernah dirasakan dari perempuan manapun. Begitupun dengan Raa, semakin sering ia bertemu Vallent perasaan ganjil dihatinya semakin berkembang. Ia hanya merasa suka saat bertemu dengan Vallent, ia hanya suka mendengar laki-laki itu berceloteh tidak peduli ia hanya diam. Raa yakin perasaan diciptakan oleh Tuhan, maka ia juga yakin jawaban yang paling tepat adalah jawaban Tuhan.

Keluarga Vallent adalah keluarga Kristen yang taat. Sejak kecil ia dididik dengan nilai agama yang kuat. Vallent tidak pernah meninggalkan sembahyang setiap minggu di gereja, ia bahkan aktif dalam beberapa acara amal yang diadakan gereja besar Jakarta. Sedangkan Raa, lahir dari keluarga Islam yang ketat. Ayahnya salah satu pemuka agama di kotanya. Meskipun Raa tinggal di Jakarta dengan saudaranya, nilai-nilai agama yang melekat padanya sedikit pun tidak berkurang.

Pertemuan terakhir di halte bus dengan Raa membicarakan banyak hal. Vallent tahu Raa suka membaca berbagai jenis buku, juga selalu datang setiap minggu ke salah-satu toko di jakarta. Vallent buru-buru pergi setelah sembahyang di gereja berakhir. Tidak biasanya ia menggunakan kendaraan pribadi, tapi hari minggu jalanan Jakarta agak lengang membuat Vallent memilih mengemudikan mobilnya. 

Setelah berputar beberapa kali di toko buku, Vallent tidak menemukan Raa. Ia lupa bertanya pukul berapa biasanya Raa mengunjungi toko buku. Akhirnya Vallent menuju rak buku kesukaannya, arsitektur dan desain. Waktu tidak akan terasa jika diisi dengan hal yang disukai. Mungkin Vallent sudah berdiri selama dua jam hingga kakinya terasa kebas. Vallent memutuskan untuk pulang, tapi sosok yang berdiri di ujung salah satu deretan rak buku menarik perhatiannya. Perempuan yang mengenakan longdress dan jilbab panjang berwarna pink pastel itu sudah pasti Raa. Vallent berjalan mendekati Raa.

“Assalamualaikum.”

Raa menoleh, tapi ia hanya diam. Tidak berniat menjawab salam dari Vallent. Vallent terlihat kesal diabaikan.

“Kau tidak menjawab salamku?”

Raa meletakkan buku yang ia baca, menghadap Vallent seperti biasa tanpa menatapnya.

“Gunakan saja sapaan biasa, tidak perlu mengucakan salam.” Jawab Raa.

“Kenapa? Memangnya salah menjawab salamku, aku sering melihat kalian saling mengucapkan salam saat bertemu.” Vallent mengernyitkan dahinya.

Raa lagi-lagi terdiam, memikirkan kalimat yang harus ia jelaskan pada Vallent.

“Ya, tapi kami hanya menggunakan salam untuk sesama muslim.”

“Kenapa begitu? Itu diskriminasi sosial.” Protes Vallent.

“Karena salam itu adalah bagian dari doa yang ditujukan bagi sesama muslim.”

“Oh, begitu.” Vallent mengangguk-angguk. “Apa yang kau baca?”

Raa hanya menunjuk salah satu buku yang ada di rak. Vallent sedikit tersenyum melihat judul buku yang Raa tunjuk.

“Wah, nama-nama bayi ya?” Goda Vallent.

Raa memiringkan kepalanya, ia mengambil buku itu karena tampilan covernya yang menarik. Raa lalu berjalan menelusuri rak buku sebelahnya. Vallent menghela nafas, lagi-lagi ia diabaikan. 

“Hei Khumaira Azzahra, kau mendengarku?”

Raa membalikkan badannya, terkejut karena Vallent menyebut nama lengkapnya. Raa tidak menyangka Vallent mengingat namanya.

“Apa artinya, namamu?” Vallent menghampiri Raa, mereka berdiri berhadapan.

“Khumaira Azzahra. Pipi merah, julukan untuk perempuan cantik seperti bunga dari surga. ” ucap Raa menerawang pemandangan jalan dari kaca besar disana.

“Benar, bunga dari surga. Hmm nama yang indah.”

Vallent tersenyum, ternyata artinya memang indah. Saat pertama kali berkenalan Raa menyebutkan nama lengkapnya. Biasanya Vallent sulit mengingat nama lengkap orang lain apalagi jika penyebutannya terlalu sulit. Tapi pertama kali mendengar nama Raa, Vallent menyukai nama unik Raa.

“Lalu siapa nama lengkapmu?”

Sebenarnya sudah lama Raa penasaran dengan nama lengkap Vallent. Tapi ia selalu mengurungkan niatnya untuk bertanya.

“Vallent Bayu Sagrada.” Jawab Vallent.

“Apa artinya?”

“Oh, itu agak sedikit panjang. Dulu aku lahir di Vallencia, jadi Ibu memberi nama yang mirip dengan tempatku lahir. Sedangkan Sagrada adalah gereja terindah yang ada di Spanyol, dan Bayu artinya angin. Ayah mengatakan jika digabungkan artinya Angin yang membawamu ketempat terindah.” Jelas Vallent panjang lebar.

Raa mengangguk mengerti. Ia hanya mengira Vallent nama panggilan yang unik. Harusnya ia bertanya sejak awal, jadi ia bisa menebak jika Vallent berbeda keyakinan dengannya. Banyak orang yang mengatakan apalah arti sebuah nama. Tapi sebenarnya nama adalah doa yang selalu dipanjatkan saat seseorang menyebutkannya.

***

Pertemuan kelima, bukan tak mungkin tapi memang tak bisa. Terakhir kali bertemu di toko buku, Vallent memberikan selembar undangan pada Raa. Vallent ingin Raa datang ke pameran arsitektur yang digelar temannya dari Yogyakarta. Raa bersikeras menolak dengan alasan tak tertarik tentang arsitek. Sebenarnya ia hanya tak mau bertemu Vallent. Semakin sering bertemu dengan Vallent maka perasaannya semakin tidak bisa dibohongi. Setiap kali bertemu dengan Vallent jantungnya berdegup kencang. Raa menyadari perasaan itu cinta, tapi itu adalah cinta yang salah. Maka perasaan itu semakin ia tikam. Bagi Raa cinta bukan hanya masalah perasaan, Vallent bukan tempat bagi perasaannya.

Vallent bukan jenis orang yang mudah menyerah. Setelah Raa menolak datang ia justru sengaja menunggu Raa didepan Sekolah. Vallent tidak ingin datang sendirian, apalagi saat berkumpul dengan teman-teman dan pasangannya yang turut serta. Ia akan selalu menjadi target mak comblang. Sebenarnya, Vallent bisa mendapatkan perempuan mana pun. Apalagi statusnya yang mapan dan fisiknya yang rupawan. Hanya saja Vallent belum menemukan perempuan yang pas, kecuali Raa yang selalu menarik perhatiannya.

Raa berjalan keluar bersama perempuan dari salah satu ruang kelas. Raa terkejut saat mendapati Vallent duduk di dekat ayunan, tersenyum dan melambaikan tangan padanya. Perempuan muda itu menyikut siku Raa saat melihat Vallent datang menghampiri mereka. Raa yang masih terkejut hanya terdiam kaku.

“Apa ini laki-laki yang orang tua uhkti kenalkan itu?” Celetuk perempuan itu.

Vallent mengernyitkan dahinya, sepertinya teman Raa itu salah mengira ia dengan dengan laki-laki lain.

“Oh bukan.” Jawab Raa cepat “Alma, pulanglah dulu. Nanti aku telepon.”

Perempuan yang di sapa Alma mengangguk. Vallent menatap Alma yang sudah menghilang dibalik gerbang dan Raa secara bergantian. Ia tidak salah dengar, perempuan itu bertanya tentang laki-laki lain.

“Apa yang membuatmu datang kemari?” Tanya Raa dengan sopan.

“Laki-laki yang orang tuamu kenalkan?” Vallent mengulangi kata-kata Alma, ia memastikan apa yang didengarnya.

“Maaf, apa yang kau lakukan disini?” Raa tidak menggubris pertanyaan Vallent.

“Apa kau sedang dikenalkan dengan seorang laki-laki?”

Vallent masih terpaku pada pertanyaannya, lebih tepat perasaan aneh yang tiba-tiba menjalari hatinya saat mendengar kata “laki-laki” lain. Raa hanya diam, dengan kesal berjalan pergi. Vallent menyusul Raa, mensejajarkan langkahnya dengan Raa. Entah kenapa perasaan Vallent jadi semakin gundah.

“Kau dijodohkan?” Vallent masih belum menyerah mendapat jawaban dari Raa. “Hey Raa, aku bertanya padamu.”

“Maaf, tapi kenapa kamu ingin tahu. Itu bukan urusan yang perlu kamu ketahui.”

“Apa kau sudah bertemu laki-laki itu?” Vallent menghadang Raa, kedua alisnya yang tebal berkerut. Raa baru menyadari ternyata wajah Vallent saat ini terlihat kaku. Raa segera memalingkan wajahnya.

“Maaf, hari ini aku sangat lelah.” 

Raa hanya bisa mengucapkan kata itu dengan lirih. Saat ini ia butuh waktu untuk berpikir. Kemarin usai sholat magrib, orangtuanya di Solo menelepon. Mereka bilang ada seorang kerabat yang ingin memperkenalkan Raa dengan mantan mahasiswanya yang menjadi dosen muda di salah satu universitas Islam di Solo.

“Oh ayolah Raa, aku hanya ingin mendengar penjelasan darimu.” Desak Vallent.

“Tidak ada yang perlu dijelaskan.” Tegas Raa “Kamu bukan siapa-siapa yang perlu mendengar penjelasanku.”

Vallent terdiam mendengarnya. Raa menyadari ucapannya tadi melukai perasaan Vallent.

“Ya benar. aku memang bukan siapa-siapa.” Vallent menatap mata Raa dalam, berusaha menunjukkan kejujuran melalui matanya.

”Kalau aku menjelaskan perasaanku sekarang padamu, apa kau akan mengerti?”

Raa terasa hancur berkeping-keping. Ia tidak ingin mendengar kalimat itu keluar dari mulut Vallent, karena ia tahu benar perasaan seperti apa yang Vallent maksud. Raa sudah berusaha dengan keras menutupinya. Perasaannya pada Vallent sesuatu yang tak seharusnya tumbuh.

“Jika aku katakan aku menyukaimu, apa kau akan mengerti?”

“Tolong jangan bicara seperti itu.”

“Apa bagimu perasaanku tidak penting? Lalu bagaimana dengan perasaanmu sendiri?”

Vallent menatap Raa dalam, mencoba mencari kejujuran dari sinar matanya. Untuk waktu yang lama mereka saling berpandangan. Tanpa kata, tapi menyiratkan luka dihati masing-masing yang dalam.

“Perasaan itu tidak seharusnya tumbuh. Perasaanku atau perasaanmu mungkin hanya tersesat, dan satu-satunya jalan terbaik adalah kembali.” Raa hanya bisa menjawab dengan sendu.

“Apakah aku tidak bisa menjadi tempat bagi perasaanmu?”

“Tidak, tempat itu bukan untukku. Bukan tak mungkin, tapi memang tak bisa. Tuhanku dan Tuhanmu, sejak awal kita diciptakan dari jalan yang berbeda.”  

Matahari terbenam perlahan bersama angin dan kesunyian yang meliputi keduanya. Hanya ada dua hal yang pasti di dunia ini, jika hari ini matahari terbenam maka esok matahari akan terbit. Bagi Raa perasaan adalah milik Tuhan, maka semua akan kembali pada-Nya. Dan bagi Vallent, Raa adalah perempuan terindah yang diciptakan oleh Tuhan yang tak pernah bisa ia sentuh.

“Kalau begitu tanyakan pada Tuhanmu, tidak bisakah aku yang bukan hamba-Nya memiliki keindahan ciptaan-Nya?”

Itulah percakapan terakhir antara Vallent dan Raa. Senja berganti malam, malam berganti pagi, pagi berganti siang, dan terus terulang. Hidup akan tetap berjalan. Tapi satu yang pasti, perasaan dua insan itu tak bisa menyatu karena kedalaman yang tak pernah bisa mereka raih.

***

Pertemuan tak terduga, jurang pembatas yang tak berdasar. Saat dua orang saling mencintai bukan berarti mereka akan ditakdirkan bersama. Tuhan lebih tahu yang terbaik, mungkin kehilangan adalah cara Tuhan menyelamatkanmu dari cinta yang salah. Raa selalu percaya akan hal itu, tak mau cintanya pada sesuatu menjadikan buta dan tuli. Seperti yang Ibunya selalu katakan, cinta pada manusia tidak boleh melebihi cinta pada pencipta. Itulah yang selalu terpatri di hatinya.

Tidak ada jawaban, tidak ada kata-kata lain setelah percakapan terakhir. Vallent dan Raa membiarkan semuanya mengalir tak pasti. Hingga sore di bulan panas itu, setelah sepekan berlalu Raa dan Vallent bertemu di halte bus.  Raa menundukkan wajahnya menghindari tatapan Vallent. Tapi Vallent tahu Raa menyembunyikan luka di hatinya.

“Ada satu tempat yang ingin aku perlihatkan padamu.” Valent berdiri disamping Raa, ia menatap lurus kejalan raya yang lengang.

Raa mengangkat wajahnya menatap Vallent dari jarak yang cukup dekat, garis wajahnya yang tegas, alisnya yang tebal, hidungnya yang mancung dan bibir ranum yang tipis. Raa segera menyingkirkan pikiran melanturnya.

“Tempat apa itu?”

“Jika kau tidak keberatan, mau datang bersamaku?” Vallent mengulas senyum tipis.

Sepanjang perjalanan sampai tujuan tidak ada percakapan yang terjadi. Keduanya diam membisu, hanya duduk di bangku yang berseberangan. Lalu sibuk pada pikiran masing-masing. Raa berjalan dua langkah di belakang Vallent menuju deretan bangunan perumahan. Vallent menyapa beberapa pekerja, dan meperkenalkan Raa sebagai tamunya.

“Ini adalah proyek perumahan pertama yang aku tangani.”

Vallent menuntun Raa masuk kesalah-satu bangunan. Vallent membuka pintu, Raa dapat melihat jelas isi didalamnya. Semua sudah tertata rapi, lengkap dengan perabotannya.

“Aku ingin kau melihatnya. Konsepnya adalah kenyamanan, bagaimana menurutmu?”

Saat pertama kali mendapat proyek pembangunan rumah, Vallent tidak begitu yakin apakah bisa membuat desain rumah yang nyaman bagi sebuah keluarga. Ia tidak punya referensi apapun sebelumnya. Tapi setelah bertemu Raa, ia seperti menemukan apa itu sebuah kenyamanan. Rumah yang didalamnya penuh cinta, rumah yang anggun namun sederhana seperti Raa.

“Menurutmu, seperti apa itu rumah yang nyaman?” Vallent menghampiri Raa yang berdiri didepan jendela kaca besar menghadap taman.

“Rumah yang nyaman?”

Vallent mengangguk, menantikan jawaban Raa.

“Bukankah semua rumah akan terasa nyaman jika keluarga berkumpul?”

Raa balik bertanya. Vallent mengembangkan senyumnya, ia sudah bisa menebak jawaban Raa selalu sederhana.

“Tapi, aku lebih suka rumah yang bercahaya.” Ucap Raa “Rumah yang selalu diisi lantunan ayat surga. Bercahaya bagi penduduk langit yang melihatnya.”

Raa dan Vallent sama-sama terdiam, menikmati bergantinya senja menjadi malam dari balik jendela besar.

“Apakah tidak bisa?” Tanya Vallent lirih “Tidak bisakah dua orang yang berbeda menyatu berlandaskan cinta?”

Vallent menoleh, mengamati siluet wajah Raa yang bercahaya karena pantulan cahaya lampu yang mulai menyala.

“Tidak.” Jawab Raa “Saling mencintai bukan berarti ditakdirkan bersama. Bagiku tidak ada cinta yang lebih besar daripada cinta Tuhan. Dan jurang antara kita, membentang dan tak berdasar.”
“Jurang bisa dilewati dengan membangun jembatan bukan?”

“Kita tidak akan pernah tahu kapan badai datang, kapan salju turun, dan kapan petir menyambar. Tidak ada jaminan hanya dengan membangun sebuah jalan menyeberang.”

“Kalau begitu yang diperlukan hanya pondasi yang kuat.” Vallent melirik perempuan disebelahnya yang tak bergeming sedikit pun.

“Ya, dan sejak awal pondasi kita berbeda.”

Ucapan terakhir Raa membungkam Vallent. Dibalik sikap Raa yang lembut dan anggun, ia adalah sosok perempuan yang tegas. Hal itu yang membuat Vallent mengagumi Raa. Tapi sejak awal ia sendiri sadar, jurang yang membentang diantara mereka tak berdasar dan tak bisa dilewati. Keyakinannya adalah hidupnya, sedangkan keyakinan Raa adalah hidup Raa.

“Aku pernah berandai. Jika aku dilahirkan kembali, aku ingin terlahir seiman denganmu, menjadi imam setiap sholatmu, menjadi nahkoda hidupmu.” Vallent tersenyum kecut.

“Tapi, aku hanya berharap di kehidupan selanjutnya kita dapat bersama.”

Raa mengalihkan wajahnya, meremas jarinya yang mulai dingin. Entah karena angin malam atau karena hatinya.

“Tidak. Bahkan di kehidupan selanjutnya kita tidak akan bisa bersama.”

Percakapan terakhir sebelum malam benar-benar menutup luka. Tidak ada kata, tidak juga bahasa. Yang ada hanya nafas dua insan yang saling mengucapkan selamat tinggal dan terima kasih.

Selalu ada jalan bagi hati yang tersesat, selalu ada obat bagi hati yang terluka. Ketika Tuhan memberimu sebuah perasaan cinta pada sesama manusia, mungkin Tuhan sedang menguji seberapa besar rasa cintamu pada-Nya. 

***

Ketika pagi terbit di pelupuk mata untuk yang kesekian kalinya, inilah pertemuan terakhir. Bunga dari surga dan angin yang terbang ketempat terindah. Vallent dan Raa, tidak ada kata sepakat hanya karena alasan cinta lalu melanggar batas keyakinan dan mengorbankan semua demi cinta. Bagi Vallent dan Raa, cinta insan yang dewasa amat sederhana. Tidak bisa diputuskan seperti membalikkan tangan. Maka keduanya memutuskan untuk tetap berada pada jalur yang semestinya. Karena mereka sadar tidak bersama bukan berarti tidak cinta.

Tidak ada sebuah kebetulan, semua adalah skenario Tuhan. Seperti kembali pada awal mula Vallent dan Raa bertemu. Takdir seperti mempermainkan mereka, membawa kembali pada pertemuan yang tak disengaja. Mungkin inilah yang dinamakan dengan cara Tuhan memberikan jawaban atas segala doa.

“Aku mendapat tawaran bekerja di Jepang.” Vallent menoleh pada Raa yang berdiri tak jauh darinya.

Keduanya bertemu di tempat dan waktu yang tak disangka, seperti mengulang pertemuan kedua. Dihalte pertama kali mereka saling menyapa.

“Kabar yang baik, selamat.”

“Ya, terima kasih.”

“Lalu, apa kau akan menetap disana?”

“Mungkin, jika aku menemukan perempuan sepertimu.” Vallent menyengir lebar.

Tak tahu kenapa Raa terkekeh ringan mendengarnya. Untuk pertama kali Vallent melihat gadis itu tertawa. Ia merasa dunia Raa sangat menakjubkan.

“Tentu saja, kau akan menemukan perempuan yang baik.” Ucap Raa tulus.

“Ya, dan kau juga harus temukan laki-laki yang lebih baik dariku.” Vallent berpura-pura memperingati Raa “Oh, aku sangat iri pada laki-laki yang akan mendapatkanmu! Hahaha.”

Vallent dan Raa tersenyum, seperti baru saja melepas ribuan kupu-kupu terbang ke udara. Raa maupun Vallent merasa hatinya menjadi lega.

“Hiduplah dengan bahagia.”

“Ya, dan kau juga.”

Vallent menoleh, dipandanginya wajah Raa lekat-lekat. Mungkin ini adalah terakhir kalinya ia dapat menatap wajah perempuan itu.

“Terima kasih.” Ucap Raa sendu.

Vallent mengangguk, membayangkan tangannya membelai Raa lembut. Tapi semua itu hanyalah bayangan fatamorgana.

“Selamat tinggal.”

“Ya, selamat tinggal.”

Untuk waktu yang lama Vallent dan Raa saling berpandangan, lalu saling menyungingkan senyum tipis. Vallent membalikkan badannya begitu pun dengan Raa, berjalan saling berlawanan. Tidak dengan sepatah kata, hanya simpul luka yang kemudian menjadi bahagia. Seperti adegan benang merah terikat yang perlahan terlepas, begitu pun cinta keduanya.

Bagi Vallent, Raa adalah bunga dari surga yang paling indah. Ia mencintai Raa tapi Tuhan lebih mencintai Raa. Ia menginginkan Raa tapi Tuhan memiliki Raa. Semua sederhana, karena cinta juga sederhana. Seperti cinta keduanya yang sederhana. Karena cinta yang sesungguhnya adalah cinta yang dapat memutuskan dimana tempatnya.


“Katakan pada Tuhanmu, terima kasih karena sudah mengizinkanku bertemu perempuan terindah-Nya. Kau, adalah bunga terindah dari surga.”-Vallent.


Tamat


Tentang Cerpen "Bunga dari Surga"

Ini adalah proyek cerpen bertema romance religi pertama yang saya tulis di tahun 2015. Bukan tidak mungkin tahun berikutnya akan ada proyek dengan tema baru yang tidak pernah saya rambah sebelumnya. Cerpen ini melewati beberapa kali seleksi judul dan bagian cerita yang saya hapus. Sempat ada keraguan akan diposting atau tidak, tapi penulis bersyukur karena akhirnya tahap akhir dapat diselesaikan. Terima kasih para pembaca yang selalu setia menunggu tulisan saya. Semoga setiap tinta yang saya goreskan akan bermanfaat bagi pembaca. Tidak lupa saya mohon kritik dan saran sebagai evaluasi setiap tulisan saya.
Salam penulis, Sae. 

Tidak ada komentar :

Posting Komentar