FF Romance Town : Part 3
Tittle : Romance Town
Author : Sae
Main Cast : Lee Donghae & Jessica Jung
Sub Cast : Sandara Park, Choi Sooyoung, Kwon Boa, Leeteuk, Kim Taeyeon, Nana, Shindong
Genre : Romance comedy
Part : 3
***
Pagi dini hari saat Jessica
sedang bergumul dengan selimutnya, manager Oh menelepon dan mengatakan kalau
Choi Sooyoung akan wawancara dengan majalah A-Style. Saking tidak percaya,
Jessica menampar pipinya beberapa kali. Ia takut kalau ternyata semua itu hanya
mimpi, tapi ajaib karena ia merasa sakit. Berarti apa yang baru saja ia dengar
adalah berita sungguhan. Jessica berteriak kegirangan, meloncat-loncat di atas
tempat tidur seperti anak kecil. Lalu bergegas masuk kamar mandi, hari ini ia
akan menghadap Kepala Editor dengan kepala terangkat. Sekali lagi, dia
benar-benar akan menghabisi Kepala Editor dengan belajar memperagakan wajah
sombong didepan kaca. Kemudian ia tertawa sendiri.
Sudah lama Jessica tidak
merasakan perjalanan ke kantor sangat menyenangkan. Suasana hatinya benar-benar
sedang baik, sampai merasa seakan bunga-bunga mekar sepanjang ia melangkah.
Semua orang bertepuk tangan saat ia masuk ke ruang rapat, mereka sudah
mendengar berita mengejutkan itu pagi tadi. Jessica bergaya seakan ia adalah
peran utama dalam drama sejarah yang berhasil memenangkan perang. Shindong
bahkan tidak berhenti mengacungkan jempolnya, kecuali Nana yang justru bermuka
masam. Tapi Jessica tidak peduli, satu orang tidak akan mempengaruhi harinya
yang cerah.
Kepala Editor Boa masuk
keruangan untuk memulai rapat. Kini matanya bertatapan langsung dengan Jessica.
Gadis itu mengeluarkan ekpresi wajah yang sejak pagi sudah ia latih didepan
kaca. Dari matanya ia seperti mengatakan “Lihatlah, aku bisa mengatasinya!”
dengan bangga. Ia semakin merasa menang setelah Kepala Editor memalingkan
wajahnya dengan angkuh.
Rapat sudah berjalan selama
empat jam. Asisten tim fashion
meletakkan sandwich, donat, dan kopi yang
baru dibeli di atas meja. Kepala Editor Boa menyuruh mereka untuk tidak keluar
dan hanya makan sambil meneruskan rapat. Mereka semua hanya diam. Mereka
kelelahan dan bosan karena selama beberapa jam terus melakukan rapat yang hanya
diselingi beberapa menit istirahat. Karena edisi khusus, maka konsepnya harus
berbeda. Juga pemotretan dan wawancara dengan Choi Sooyoung semua harus
sempurna. Tapi semua orang terlihat masih buntu dengan ide baru. Kepala Editor
Boa dengan enteng selalu mengatakan “lewat”, “tidak”, bahkan “ditolak” saat
mereka mengajukan pendapat.
“Belakangan ini produk-produk
ternama menjadikan para artis sebagai backing
mereka bukan? Gracia membuat Suzy sebagai backing
mereka di pasar Asia. Karena efek pemasaran produk itu sangat besar, pasti akan
bagus kalau kita coba melangkah ke arah sana.”
Semua orang yang sedang sibuk
memutar bolpoin menatap ke arah Jessica. Akhirnya Kepala Editor sedikit
antusias, suasana rapat langsung berubah. Backing
adalah konsep pemotretan baru dengan desain baju yang masih setengah jadi dan
menunjukkan bagaimana desain itu diselesaikan. Mereka tidak berpikir ke arah
itu sebelumnya.
“Sebelum ini Marie Claire
pernah membuatnya juga, hanya saja mereka menggunakannya untuk edisi perhiasan.
Kesannya cukup unik.” Ungkap Hyoji dari tim feature.
“Untuk make-upnya kita buat saja konsep smooky. Sepertinya wajah Choi Sooyoung akan cocok menggunakan warna
perak atau keemasan.” Tambah Siyoon dari tim beauty.
“Baiklah kalau begitu. Pertama
kumpulkan dahulu berkas-berkas yang diperlukan dan aku akan menunjukkan skema
yang sudah matang. Siapkan semua peralatan, konsep, make-up, sampai desain baju,
kita akan rapat lagi besok.” Ucap Kepala Editor Boa. Semua orang hanya mengangguk.
Wajah mereka sudah terlihat letih.
“Sekarang kalian boleh
pulang.”
Kepala Editor Boa berdiri dari
kursinya dan melangkah keluar ruang rapat. Semua orang hanya dapat mengeluh
setelah Kepala Editor pergi. Jam sudah menunjukkan pukul 11 malam lebih.
***
Donghae melangkahkan kakinya
dengan cepat. Sekertaris Ahn mengatakan Nyonya Lee datang dan sudah menunggu
diruangannya sejak beberapa menit lalu saat ia sedang memimpin rapat. Saat
sekertaris membuka pintu, Sandara sedang duduk dengan tenang. Ia tersenyum
menyapa Donghae yang masuk keruangan.
“Apa yang kau lakukan disini?”
Tanya Donghae dengan ketus. Ia tidak suka berbasa-basi dan mood-nya jadi berantakan kalau melihat Sandara.
“Sebaiknya kau duduk dulu.”
Ucap Sandara membujuk. Akhirnya Donghae menurut agar urusan mereka cepat
selesai.
Sandara tersenyum dan
mengeluarkan amplop coklat, membukanya dan menunjukkan beberapa kertas beserta
lampiran foto.
“Ketua ingin aku memilihkan
wanita yang pas untukmu. Ia menyuruhku untuk mengatur kencanmu.” Sandara
menyerahkan profil dan foto beberapa wanita yang dibawa.
“Semua wanita dipilih sesuai
seleramu, kau hanya perlu menentukan mana yang kau sukai.”
Donghae tersenyum kecut, lalu
mengusap wajahnya yang mulai kebas.
“Sepertinya kau begitu
memahamiku.” Donghae mencibir Sandara setelah melihat beberapa lembar. “Tapi,
sayangnya tipe wanitaku sudah berubah. Kau sungguh tidak tahu?”
Sandara sudah terbiasa
menanggapi sindiran Donghae dan selalu bisa bersikap tenang, ia memaksa seulas
senyum.
“Mereka semua berasal dari
keluarga terpandang, pilihlah salah satunya.”
“Bukan hanya Ayah rupanya,
sekarang kau juga mengatur hidupku.” Donghae tersenyum sinis.
“Donghae...”
“Jangan coba mengatur hidupku!
Urus saja dirimu sendiri, karena aku tidak akan membiarkanmu menerima sepersen
pun dari keluarga ini!” Donghae memotong kata-kata Sandara dengan ketus.
“Katakan pada ketua untuk
berhenti mengusikku.” Donghae bangkit dari duduknya “Ah satu lagi, pintu keluar
ada disebelah sana.” Setelah menunjuk pintu keluar, Donghae berjalan menuju
meja kerjanya.
Sandara meremas jari tangannya,
ia masih mencoba bersikap tenang. Ia mengulas senyum sedih lalu keluar dari
ruangan. Donghae tersenyum sinis melihat Sandara keluar dengan langkah seribu.
***
Jessica masuk ke sebuah
restauran udon dengan senyum lebar. Ia baru saja menyelesaikan reservasi tempat
yang akan digunakan wawancara Choi Sooyoung. Kini tugasnya sudah beres, ia
hanya perlu mempersiapkan pertanyaan untuk wawancara. Karena sudah lewat jam
makan, restauran terlihat sepi. Jessica melirik jam tangannya, sudah pukul
delapan malam.
Jessica duduk di salah satu
kursi dekat jendela, aroma bunga rosemary
dan asparagus yang segar berpadu lembut dengan udara yang berembus. Suasana
musim semi yang lembut sepertinya sedang berhenti dan berkumpul di bawah lantai
kayu. Jessica membayangkan serbuk-serbuk bunga yang begitu ringan seperti debu
menempel dihidungnya. Belakangan ini harinya berlalu seperti bunga yang mekar.
Ketika menoleh, Jessica
berpapasan dengan laki-laki tampan yang baru masuk kedalam restauran. Seperti
kecelakaan lalu lintas, mata mereka bertabrakan dan mereka terpaku pada waktu
yang bersamaan. Tubuh Jessica seperti terlempar entah kemana. Donghae tidak
memakai stelan jas seperti biasa, tetapi t-shirt
putih yang dipadukan dengan jaket kulit Marc Jacobs senada dengan warna
celananya.
Berbeda dengan Jessica yang
gugup, Donghae tersenyum sekilas dan malah menghampiri gadis itu. Ia duduk
didepan Jessica seperti seorang teman tanpa canggung. Sejak ciuman yang tidak
disengaja beberapa waktu lalu, mereka belum pernah bertemu. Pelayan datang dan
menuangkan teh herbal. Tanpa sadar Jessica langsung meminum teh herbal yang
disuguhkan. Aroma bunga rosemary
merasuk kehidungnya.
“Apa yang kau lakukan disini?”
Tanya Jessica tanpa babibu.
Donghae mengernyitkan dahinya.
“Apa? Tentu saja makan.”
Jessica menghela napas
panjang. “Maksudku, kenapa kau duduk disana?”
Donghae tersenyum kecil saat
Jessica menjelaskan maksudnya. Ia meneguk teh herbalnya.
“Kenapa, kau tidak mau duduk
denganku?”
“Bukan begitu, tapi... “
“Baguslah, kau sudah setuju.”
Donghae menyela kalimat Jessica yang belum selesai. “Ahhh aku ingin makan udon
yang paling enak.”
Donghae tersenyum samar
membuka menu makanannya, Jessica melongo tidak percaya. Suasana restauran
terasa sesak dan waktu pun berjalan lambat. Kalau dipikir lagi, Jessica tidak
bisa memahami bagaimana mungkin Donghae bersikap seperti tidak pernah terjadi
apapun setelah menciumnya. Padahal jantungnya seperti akan meloncat kapan saja.
***
Persiapan wawancara dan
pemotretan sudah sempurna. Baju-baju didatangkan dari Hongkong dan Paris.
Selain itu properti yang diperlukan bahkan di datangkan dari Tokyo. Semua
peralatan sudah siap, Jessica tersenyum dengan puas setelah mengecek semua
persiapan lengkap. Kepala Editor Boa datang melihat langsung lokasi yang akan
digunakan, ia mengecek satu persatu perlengkapan.
“Berikan daftar
pertanyaannya.” Ucap Kepala Editor. Jessica sedikit ragu dengan apa yang baru
saja ia dengar. Daftar pertanyaan adalah bagian pekerjaannya. Untuk apa Kepala
Editor memintanya.
“Kenapa?”
“Kenapa aku harus mengatakan
alasannya padamu?” Jawab Kepala Editor. Semua yang ada dilokasi menghentikan
kesibukan. Suasana menjadi hening dan semua menahan napas melihatnya.
“Saya bukan pegawai magang
lagi, anda tidak perlu cemas dengan daftar pertanyaannya.” Jawab Jessica tidak
mau kalah.
Dulu juga pernah terjadi,
Kepala Editor pernah meminta daftar pertanyaannya. Tanpa memberitahu alasan
apapun ia membawa pergi daftar pertanyaan. Dan seluruh wawancara di ambil alih
oleh penyihir itu. Jessica merasa marah dan mengatakan bahwa itu tidak adil
karena dia yang mendapatkan persetujuan wawancara. Tapi Kepala Editor tidak
gentar sama sekali dan justru berkata “Kau belum profesional untuk wawancara
itu. Aku tidak mau kau membuat malu majalah A-Style.”
Penyihir itu berkata
seolah-olah sudah mendapat persetujuannya. Padahal ia sendiri yang merebutnya.
Ibaratkan bukan hanya memotong tanaman yang sedang tumbuh, tapi juga mencabut
sampai ke akarnya. Karena kejadian itu Jessica menangis semalaman, ia tidak
nafsu makan selama beberapa hari sampai harus kehilangan berat badan. Tapi
penyihir itu sama sekali tidak peduli. Dan sekarang Jessica tidak akan
membiarkan Kepala Editor merebut wawancara Choi Sooyoung yang dengan susah ia
dapatkan.
“Jung Jessica, sepertinya aku
sudah pernah mengatakan padamu. Aku direkturnya dan kau hanya editornya. Apakah
boleh seorang editor membantah perintah direkturnya?” Ucap Kepala Editor Boa
tanpa bersalah. Semua orang yang ada disana hanya bisa saling melirik.
Tanpa bicara sepatah katapun
Jessica memandang mata Kepala Editor dengan marah. Kalau penyihir itu
mengatakan sepatah kata lagi, Jessica pasti akan membungkam mulutnya.
Satu-satunya pegawai yang berani menatap mata Kepala Editor seperti itu
hanyalah dia. Meskipun terkesan tidak sopan, Kepala Editor tidak berniat
memecatnya sekalipun. Tentu saja hal itu karena kelebihan Jessica.
“Apapun itu, aku akan
mengambil alih wawancaranya. Kirimkan segera daftar pertanyaannya padaku. Dan
kau, lanjutkan saja artikelmu.”
“Kepala Editor... ” ucap Jessica
frustasi, ia benar-benar bisa menjadi gila. Ini sangat menyebalkan. Bagaimana mungkin
Kepala Editor menghianatinya lagi. Jessica merasa ingin menangis dan berteriak.
“Dan kalian semua cepat
bergerak, jangan hanya terus berdiam diri saja disana!” Kepala Editor Boa
memarahi mereka yang sejak tadi hanya berdiri menyaksikannya.
Semua orang segera berlarian
melanjutkan pekerjaannya. Sedangkan Jessica menatap kosong kepergian Kepala
Editor dari ruangan.
“Dasar penyihir!” Jessica
berteriak kesal. Semua orang hanya bisa menunjukkan wajah kasihan karena tidak
bisa membantu.
***
Sepulang kerja, Jessica
berjalan kaki menuju apartemennya. Langkah kakinya terasa berat, bahkan ia
berjalan lebih lambat dari kura-kura. Disepanjang jalan, bunga sakura yang
beberapa hari ini mekar tidak lagi terlihat cantik. Padahal ia selalu memuji
pohon-pohon itu sangat indah. Sekarang ia tidak lagi punya tenaga bahkan hanya
untuk memuji pohon.
Jessica tidak bisa lagi duduk
di atas kloset kamar mandi dan menangis. Ia berpikir untuk menulis surat
pengunduran diri lagi, tapi tidak mungkin ia keluar dari pekerjaan dan menjadi
seorang pengangguran. Jika terjadi, artinya ia harus pulang dan bersiap untuk
dijodohkan. Jessica mengacak rambutnya dengan frustasi.
Sebuah mobil menlaksonnya, Jessica
menoleh dan mendapati Donghae melambaikan tangan dari dalam mobil. Jessica
hanya menghela napas.
“Ada apa denganmu, kenapa
wajahmu cemberut?” Donghae menghampiri Jessica setelah memarkir mobilnya.
“Tolong jangan ganggu aku,
hari ini aku sudah sangat lelah.” Jessica tidak menggubris Donghae dan tetap
berjalan dengan lemas.
“Kau tidak akan sampai rumah
jika berjalan seperti kura-kura.” Donghae masih belum menyadari situasi gadis
itu dan malah menggodanya. Jessica tidak menggubris dan melanjutkan jalannya
yang lambat.
“Kau patah hati? Atau dihianati?”
Mendengar kata penghiatan,
telinga Jessica menjadi panas. Ia berbalik dengan wajah kesalnya.
“Apa kau penguntit? Kenapa kau
terus mengikutiku? Kenapa kau selalu menggangguku!” Jessica meluapkan
kekesalannya dengan memarahi Donghae.
“Apa terjadi hal buruk?”
Donghae menyadari kalau Jessica benar-benar sedang marah.
“Kenapa? Memang apa pedulimu?
Memangnya kau ini siapa?!” Jessica berteriak sampai beberapa orang yang lewat
melihat aneh ke arah mereka.
“Kau! Apa kau memang seperti
itu. Kau laki-laki yang mencium wanita yang tidak dikenal, lalu bersikap seakan
tidak terjadi apapun. Memangnya kau ini siapa!” Jessica juga ikut meluapkan unek-uneknya
pada Donghae yang selama ini ditahan.
“Hal itu, sebenarnya, itu... “
Donghae sendiri bingung untuk menjelaskan pada Jessica.
“Apa kau tidak punya sopan
santun? Dimana kau belajar sopan santun, apa Ibumu tidak pernah mengajarimu sopan
santun?” Jessica meluapkan kekesalannya tanpa terkendali.
Mendengar kalimat terakhir
Jessica yang menyebutkan kata Ibunya wajah Donghae mengeras. Ia tersenyum sinis
lalu berjalan dan mencengkeram lengan Jessica dengan kuat. Jessica merasakan
kemarahan Donghae dan baru sadar kalau ia sudah keterlaluan.
“Lalu siapa kau? Siapa kau
sampai berani meneriaki Ibuku!” Ucap Donghae sangat marah. Seketika Jessica
sadar bahwa ia salah bicara. Ia melihat wajah Donghae berubah menjadi
menakutkan.
“Jangan pernah menyebut nama
Ibuku! Karena wanita seperti kalian, benar-benar menjijikan!” Ucap Donghae
menggerutukan giginya. Donghae melepas cengkeraman tangannya dan berlalu
meninggalkan Jessica.
Kaki jessica bergetar hebat,
pertama kalinya ia melihat Donghae yang begitu marah. Ia tahu sudah
keterlaluan, ia pasti sudah keterlaluan sampai Donghae semarah itu. Tapi
alih-alih ingin meminta maaf, mulutnya justru tidak bisa mengeluarkan sepatah
kata pun. Tiba-tiba kaki Jessica menjadi lemas dan terduduk.
Jessica hanya dapat menatap
kepergian Donghae dengan sedih. Semua hal yang ada disana sekarang menjadi
menyedihkan. Jessica mengeluarkan ponselnya yang berdering. Itu adalah pesan
dari kakaknya Leeteuk. Jessica tidak bisa menahan air mata saat membacanya.
Padahal hanya sebuah pesan biasa, tapi kakaknya seperti dapat merasakan
kesedihannya.
Apa kau sudah makan? Tidak ada masalah dengan pekerjaanmu
kan^^
Dengan sesenggukan Jessica
mengetik huruf susah payah. Dia masih ingat ketika kecil, meskipun sudah bermain
seharian ditaman dan duduk di pasir sekalipun, kakaknyan tidak marah sama
sekali. Dengan tangannya yang bersih, kakaknya menempelkan plester saat ia
terluka. Dengan tangan kakaknya menyeka air mata di wajahnya sampai bersih
ketika ia menangis. Dari telapak tangannya tercium aroma harum, membuatnya
selalu merasa nyaman meski hanya bermain berdua.
Sekarang saat mereka tumbuh
besar, kakaknya masih memperlakukannya seperti anak kecil. Selain Ibu dan
Ayahnya, kakaknya justru lebih sering menanyakan hal-hal kecil seperti “apa kau
sudah makan?”, “bagaimana pekerjaanmu?”, bahkan “apa kau kekurangan uang?”.
Tapi Jessica tidak mau terus membuat kakaknya Leeteuk khawatir, apalagi ia
sudah berumah tangga. Tentu Jessica tidak ingin menjadi adik yang menyusahkan.
Akhirnya balasan yang hanya bisa kirim adalah
Tentu, pekerjaanku berjalan lancar.
Lalu setetes air mata jatuh
lagi. Seorang pegawai yang memiliki kehidupan tidak jelas sedang sedih,
merasakan suatu kehilangan.
***
Alunan musik, cahaya kemerahan
yang menembus kaca beranda, serta alunan musik klasik dari piringan hitam masih
berputar sejak sebelum ia tertidur. Beberapa hari ini Donghae sulit tertidur,
di hari minggu ia bahkan harus merelakan jadwal gym-nya hanya untuk tidur. Ketika membuka mata dalam kegelapan,
Donghae tidak tahu berapa lama waktu telah berjalan.
Donghae bangun dan berjalan
menuju dapur, membuka lemari pendingin dan minum air putih dalam sekali teguk.
Ia hampir saja memuntahkan sebagian isinya saat mengingat kejadian beberapa
waktu lalu. Akhir-akhir ini gadis itu selalu muncul dipikiran merusak
ketenangannya. Jam dinding menunjukkan pukul lima pagi. Donghae memutuskan
untuk menyegarkan diri dan berendam didalam bath-up
sebelum bersiap berangkat kekantor.
Saat dalam perjalanan Donghae hanya
diam menatap keluar jendela. Sekertaris Ahn yang selalu menemaninya dapat
merasakan ada sesuatu yang menganggu pikiran presdirnya.
“Apa ada sesuatu yang
menganggu pikiran presdir?” Sekertaris Ahn bertanya dengan hati-hati.
“Tidak ada.” Donghae menjawab
dengan singkat. “Kau sudah dapat laporan tentang Resort di Jeju?”
“Ya, saya akan berikan pada
anda di kantor.” Jawab sekertaris Ahn masih fokus dengan kemudinya. “Tapi
presdir, laporan pengeluaran perbaikan Resort
sepertinya dirahasiakan.”
Donghae hanya tersenyum sinis
dan menyuruh sekertaris Ahn untuk membawa semua laporan mengenai Resort Jeju.
***
Jessica membuka mata dan saat
itu sudah pukul 7 pagi. Terlambat!. Karena terburu-buru ia tidak sempat dandan.
Di lampu merah Jessica hanya mengoleskan lipstik. Jika Kepala Editor melihat
itu semua, mungkin ia harus mendengarkan ceramah selama satu jam mengenai
penampilan yang “layak” mengingat ia adalah pegawai majalah A-Style.
Ketika sampai di studio, semua
kru dan tim sudah siap. Jessica membantu tim fashion mengangkat beberapa properti. Choi Sooyoung datang bersama
manager Oh dan langsung disambut oleh Kepala Editor. Jessica mendesis sebal
melihat penyihir itu akhirnya berhasil mengambil alih pekerjaannya.
Diruang ganti terdapat banyak
sekali baju yang di gantung. Jumlahnya bisa dipakai untuk membuka satu toko
baju. Hyoji dari tim feature membawa
baju Look-Book sambil menata aksesoris. Jessica ikut membantu dan memisah baju
yang telah dipilih untuk digantung.
“Oh reporter Jung ?” Tiba-tiba
Choi Sooyoung datang dan menyapa Jessica. Manager Oh mengekor di belakang dan
memberi salam. Jessica hanya mengangguk dan tersenyum.
“Aku pikir kau yang akan
mewawancaraiku.” Ucap Sooyoung lalu duduk di kursi yang telah disediakan.
“Sayang sekali, padahal aku ingin melihat kemampuan retorikamu.”
“Terima kasih sudah menerima
wawancara ini.” Jessica menyunggingkan seulas senyum paksa.
“Aku tidak melakukannya karena
benar-benar ingin, kok.”
Jessica hanya bisa menghela
napas dan berharap diberi kesabaran untuk menghadapi Choi Sooyoung. Sekarang ia
sadar hikmah yang didapatkan karena gagal wawancara. Dua penyihir bertemu itu
lebih pas.
“Jadi kau ketua tim ya.”
Sooyoung memperhatikan Jessica “Tapi kenapa penampilanmu berantakan sekali.”
“Yah benar sekali, karena
terlalu stress aku jadi tidak bisa
memilih pakaian yang bagus.” Jawab Jessica dengan sebal. Ternyata memang benar,
menjadi ketua tim juga harus memiliki style
bagus dan kemampuan menulis yang luar biasa.
Melihat reaksi Jessica,
Sooyoung justru tertawa. “Ya ampun, ketua tim lucu sekali.”
Manager Oh dan Jessica hanya
bisa memandangi Choi Sooyoung dengan aneh. Ia tertawa padahal tidak ada sesuatu
yang lucu.
***
Jessica menggigit kukunya
dengan cemas. Sebenarnya ia tidak berniat menghubungi Donghae. Tapi karena
motto hidupnya yang bertanggung jawab dan tidak suka berhutang, Jessica
akhirnya menghubungi kakaknya Leeteuk dan meminjam uang untuk melunasi hutang.
Ia bahkan berjanji untuk mentransfer semua gaji bulan depan, tapi tentu saja
kakaknya menolak dan meminta untuk tidak memikirkannya.
Setelah mengirim pesan panjang
dengan pertimbangan hati-hati, Jessica hanya mendapat balasan yang sangat
singkat. Jessica berhenti disebuah gedung pencakar langit yang bertuliskan
LEAD.id yang besar. Ia hanya menebak mungkin Donghae salah satu karyawan
disana. Karyawati di bagian penerima tamu memandangnya aneh saat ia berkata
ingin bertemu dengan Lee Donghae. Jessica merasa ada sesuatu yang aneh karena
mereka melihatnya seperti terdakwa pembunuhan.
Saat seorang laki-laki paruh
baya datang, para karyawan membungkuk. Mereka menyebut Jessica dengan “nona
ini” bilang sudah membuat janji dengan presdir. Mendengar mereka menyebut kata “presdir”
membuat Jessica kebingungan, ia mengingat-ingat apakah salah menyebutkan nama.
Tapi Jessica yakin hanya menyebut nama Lee Donghae.
“Apakah anda nona Jung
Jessica-si?” laki-laki paruh baya itu menyapa dengan ramah. Jessica hanya
mengangguk.
“Saya adalah sekertaris Ahn,
mari saya akan antarkan anda ke ruangan presdir.”
Jessica semakin bingung saat
ia digiring untuk mengikuti sekertaris Ahn. Saat berada di lift Jessica
memberanikan diri untuk bertanya.
“Maaf, tapi saya hanya ingin
bertemu Lee Donghae, Lee Donghae.” Jessica mencoba menjelaskan pada sekertaris
Ahn. Ia berpikir pasti ada kesalahpahaman yang terjadi.
“Benar, kami akan mengantar
anda ke ruang presdir.”
“Bukan, bukan. Aku bukan ingin
bertemu dengan presdir. Tapi Lee Donghae, Lee Donghae.” Jessica masih berusaha
untuk menjelaskan kesalahan yang mungkin terjadi.
Laki-laki yang dipanggil sekertaris
Ahn itu tersenyum tipis, ia mengangguk dan menjelaskan pada Jessica.
“Benar nona, kami akan
mengantar anda pada presdir Lee Donghae.”
Seperti sebuah petir yang
menyambar di siang hari, Jessica membuka mulutnya dengan lebar. Untuk sesaat ia
mematung dan tidak bisa mengatakan apapun. Belum sepenuhnya sadar, pintu lift
sudah terbuka. Sekertaris Ahn mempersilahkan Jessica masuk ke sebuah ruangan.
“Tungu dulu, tunggu dulu... “
Jessica berusaha mengatur napasnya “Jadi Lee Donghae benar-benar presdir
disini?”
Sekertaris Ahn mengangguk dan
tersenyum. Tiba-tiba saja napas Jessica semakin sesak. Lee Donghae adalah
presdir, tidak mungkin, ia tidak berpikir sampai sejauh itu. Keterkejutannya
belum berakhir, tiba-tiba pintu ruangan terbuka dan keluarlah sosok yang ia
cari. Lee Donghae memangdangnya dengan datar.
“Presdir Lee, nona Jung sudah
datang.” Ucap sekertaris Ahn.
Donghae mengangguk dan
memberikan kode agar sekertaris Ahn meninggalkan mereka berdua. Setelah
sekertaris Ahn pergi suasana menjadi semakin canggung.
“Aku... tidak tahu kau presdir
disini.” Ucap Jessica dengan lirih. “Sebenarnya aku datang untuk mengembalikan
uangmu.” Jessica mengulurkan amplop berisi uang yang telah ia bawa. “Tenang
saja, aku sudah menghitung semua hutangku dengan rinci.”
Donghae mengulas senyum tipis,
tapi segera bersikap biasa saat Jessica meliriknya.
“Dan juga, aku minta maaf
dengan kejadian itu. Kata-kataku pasti sudah keterlaluan.” Jessica meminta maaf
dengan sungguh-sungguh.
“Jadi kau memintaku untuk
menerima uangmu dan memaafkanmu?”
Jessica menunduk sedih, ia
sudah menyiapkan mental apabila Donghae memang tidak mau memaafkannya. Ia juga
bertekad mengubur harga dirinya dalam-dalam jika itu bisa membuatnya di
maafkan.
“Jadi kau benar-benar sedang
ada tamu?” Tiba-tiba seorang wanita cantik datang menghampiri mereka.
Donghae menarik tangan Jessica
yang memegang amplop dan menutupi dengan tanganya. Jessica yang tidak tahu
apapun hanya bisa menurut.
“Apa dia temanmu?”
“Apa yang kau lakukan disini?”
Tanya Donghae dengan ketus. Jessica hanya diam karena tidak tahu harus
bagaimana dalam situasi yang membuatnya bingung.
“Aku datang untuk menemuimu.”
Ucap Sandara, lalu menatap Jessica dan tersenyum. “Annyeonghaseo, aku Sandara,
Ibu Lee Donghae.” Ucapnya memperkenalkan diri.
Mengetahui wanita yang ada
didepannya adalah Ibu Lee Donghae, Jessica buru-buru membungkuk dan memberi
salam.
“Oh annyeonghasseo, nama saya
Jung Jessica.” Jessica diam-diam melirik Sandara, ia sangat terkejut karena
wanita cantik yang ada didepannya adalah Ibu Lee Donghae. Wanita itu terlihat
masih sangat muda.
“Ada apa lagi? Aku benar-benar
sedang sibuk.” Donghae tidak mempedulikan Jessica disampingnya dan tetap
berbicara ketus pada Sandara
“Aku belum pernah melihatmu
sebelumnya. Apa kau teman dekat Donghae?” Sandara tidak menggubris Donghae dan
memaksa seulas senyum tipis pada Jessica. Jessica belum sempat menjawab tapi
Donghae sudah memotongnya dengan nada sinis,
“Kenapa? Apa aku juga harus
lapor padamu siapa saja teman-temanku?”
“Lee Donghae-si.” Akhirnya
Jessica mengeluarkan suaranya, ia tidak habis pikir bagaimana mungkin Donghae
berbicara begitu kasar pada Ibunya.
“Maaf, maafkan aku.” Jessica
membungkuk sekali lagi “Benar, aku teman Lee Donghae-si.”
“Bukan.” Ucap Lee Donghae
dingin, ia mengenggam tangan Jessica dan tersenyum sinis pada Sandara.
“Berhenti memaksaku berkencan, karena dia adalah pacarku.”
Jessica menatap Donghae tidak
percaya. Mungkin pendengarannya sedang buruk, Jessica merasa sudah salah
dengar. Tapi Lee Donghae justru menoleh padanya dan mengulas senyum tipis.
Disaat seperti itu, jantung Jessica malah berdegup dengan kencang.
“Kekasihmu?” Ulang sandara
memastikan.
“Bukan.” Jawab Jessica
meluruskan. Tentu saja bukan, sejak kapan ia menjadi kekasih lelaki itu, batin
Jessica. Sandara terlihat sedikit bingung dengan kaliamat keduanya yang
berlawanan.
“Aku sudah memaafkanmu.”
Tiba-tiba saja Donghae mengucapkan kata yang sama sekali tidak Jessica
mengerti.
“Kau tidak perlu lagi datang
kemari. Lagipula, aku masih ada urusan dengan pacarku ini.” dengan ketus
Donghae mengatakannya pada Sandara dan menarik tangan Jessica masuk kedalam
lift. Jessica tidak tahu situasi apa yang sebenarnya terjadi dan bagaimana ia
bisa terlibat dalam masalah yang sama sekali tidak ia pahami.
Setelah keluar dari lift
Donghae tidak melepas gengaman tangannya dan tidak memberikan kesempatan pada
Jessica untuk melepasnya. Jessica melihat semua karyawan memperhatikan mereka
dengan tatapan tidak percaya. Ini persis seperti adegan dalam drama yang baru
beberapa hari lalu ia tonton, dimana peran utama selalu teraniaya. Setelah
keluar dari gedung dan masuk ke mobil, Donghae segera melajukan mobilnya.
Mereka berhenti di sekitar sungai han.
“Apa kau sudah gila? Bagaimana
mungkin tiba-tiba aku menjadi pacarmu.” Jessica mengacak rambutnya dengan
frustasi. Serumit apapun hubungan Donghae dan Ibunya, Jessica berpikir tidak
seharusnya ia dilibatkan sejauh itu.
“Bukankah kau ingin membayar
hutangmu?” Ucap donghae enteng. “Aku tidak akan menerima uangmu, tapi sebagai
gantinya. Kau harus jual tenagamu.”
“Apa maksudmu?”
“Kau hanya perlu pura-pura
menjadi pacarku.”
“Kenapa aku?!” Tanya Jessica
sedikit berteriak.
“Karena kau berhutang padaku.”
Jawab Donghae “Dan juga, kau terlihat cukup kuat untuk menghadapinya.”
“Apa?” Jessica benar-benar
tidak mengerti maksud Donghae. “Apa maksudmu?”
“Jangan pikirkan, aku lapar.
Ayo makan.” Donghae menarik tangan Jessica masuk ke mobil tanpa mempedulikan
persetujuannya terlebih dahulu.
***
Sebuah kabar selalu melahirkan
kabar baru. Kabar baru akan melahirkan kabar baru lagi. Kabar baru lagi
menimbulkan kabar yang tidak dapat dipercaya, dan kabar yang tidak dapat
dipercaya menjadi kabar yang menghebohkan, dan akan tersebar ke segala penjuru.
Bekerja selama lima belas jam
setiap hari tanpa melihat waktu memang perlu sesuatu yang menarik untuk
hiburan. Gosip bisa membuat orang bernapas sejenak. Gosip adalah sesuatu yang
manis dan bagaikan vitamin penjaga stamina bagi orang-orang yang setiap hari
menghabiskan waktu untuk bekerja.
Obrolan ditempat istirahat itu
bisa membuat segelas latte mendidih.
Mungkin orang yang suka bergosip itu memutar balik kabar yang didengarnya, tapi
bisa jadi tidak. Di tempat kerja gosip selalu menyebar seperti cerita nyata.
Tidak ada orang yang penasaran dengan kenyataan di balik berita itu karena
mereka juga menikmati.
Berita-berita yang berkaitan
dengan Kepala editor Boa bukan hanya sekali atau dua kali. Ia tersandung
beberapa kali gosip yang menjadi pembicaraan penjuru kantor. Kekejaman Kepala
editor Boa semakin dikenal, mulai dari menyuruh seorang hoobae untuk bekerja
lembur di bagian pemasaran, bahkan insiden melemparkan tiga buah majalah tebal
ke wajah seorang hoobae perempuan. Akan tetapi dibanding dengan kejadian
apapun, gosip tentang “kutukan lajang” adalah yang paling terkenal.
Kabar “kutukan lajang” itu
beredar akhir tahu lalu saat seorang tim feature
menerima sebuah paket bunga mawar yang di tujukan untuk Kepala editor Boa.
Mereka bilang Kepala Editor Boa mengikuti beberapa kencan buta, tapi semuanya
berakhir tragis. Tidak ada satupun laki-laki yang bisa menerima sifat penyihir
itu. Sejak itulah tersiar kabar bahwa Kepala editor Boa mendapat kutukan dari
kekasihnya tujuh tahun silam.
Jessica tidak begitu peduli
dan tidak ambil serius dengan gosip yang beredar. Ia hanya sempat mendengar
bahwa dulu Kepala editor Boa memiliki seorang kekasih. Mereka bahkan sudah
pacaran selama sepuluh tahun, tapi saat sang kekasih ingin melamar, Kepala
editor menolak dengan alasan ingin fokus dalam karirnya. Tentu saja hal itu
membuat kekasihnya terluka. Karena putus asa, kekasihnya memutuskan untuk
pindah ke Jepang. Mereka sempat mendengar bahwa kekasihnya mengajak Kepala
editor untuk pergi ke Jepang, tapi ditolak mentah-mentah. Dari sanalah “kutukan
lajang” itu berasal.
Mungkin Kepala editor sudah
tahu bahwa dirinya menjadi bahan pembicaraan di kantor. Namun, penyihir itu
tidak ambil pusing. Dia sama sekali tidak memedulikan mereka. Jessica yang
justru khawatir akan hal itu. Mungkin jika penyihir itu menulis artikel berjudul
“cara mengabaikan orang”, pasti akan menjadi bestseller.
Karena tidak tertarik
berkencan Kepala editor jadi jarang tidur dan dijuluki sebagai workaholic. Dia melakukan semua yang
sanggup dilakukannya. Dia juga terbiasa berbicara dengan ketus bahkan tidak
segan melempar benda-benda yang ada di depannya. Benar-benar sosok penyihir
yang sempurna. Namun kadang dia bisa berskap lembut dengan caranya yang aneh.
Di atas meja Kepala editor ada
banyak sekali barang-barang cantik. Foto dan aksesori yang dibawanya dari Milan
dan Paris, barang-barang bermerek sebagai hadiah, dan yang paling unik adalah
memo-memo kecil yang ditinggalkan wartawan yang isinya sama sekali tidak
penting. Namun yang membuat Jessica kesal adalah Kepala editor Boa selalu
mengomelinya bahkan hanya karena hal sepele seperti tulisan. Ia akan mengatakan
“tulisanmu jelek sekali”, “tidak bisakah tulis dengan rapi” bahkan cibiran
seperti “kenapa tulisanmu gemuk-gemuk seperti itu” yang selalu berhasil membuat
wajahnya cemberut.
Tapi alih-alih tulisan tangan
Jessica yang selalu diejek acak-acakan dan gemuklah yang justru memenuhi hampir
seluruh papan memo miliknya. Bahkan Jessica tidak segan-segan menuliskan
protesnya. Anehnya tidak ada reaksi berlebihan setelah Kepala editor membaca
cibiran-cibiran Jessica dalam memo, ia hanya akan mengomel lalu seakan lupa
begitu saja.
Tidak ada penyakit akut yang
diderita Kepala editor Boa selain sifat penyihirnya. Jessica mengakui kemampuan
Kepala editor yang selalu dapat mempertahankan A-Style dalam jajaran tiga besar
penjualan majalah di Korea. Penyihir itu juga sangat hebat karena dapat
bertahan di dunia fashion yang kejam
dalam waktu yang sangat lama. Tapi dalam hal apapun Kepala editor sering
mentraktir junironya makan daging sapi Korea. Hanya saja ia tidak pernah
meminta bagiannya sehingga berat badannya selalu stabil, sedangkan juniornya
harus berakhir dengan berat badan yang naik.
“Kau sudah mengumpulkan semua
surat dari pembaca.” Kepala editor Boa mengecek beberapa berkas yang baru
Jessica salin.
“Itu bukan tugasku.”
“Kalau mau sukses, jangan
malas, saat seusiamu aku bekerja keras seperti semut. Jangan setengah-setengah
dalam melakukan pekerjaan!”
Jessica memandang wajah Kepala
editor dengan seksama. “Apa anda tahu, sepertiga waktu semut dilakukan untuk
makan dan bermain sehingga dia juga bisa disebut pemalas.”
“Siapa yang bilang?”
“Profesor di universitasku!”
Jawab Jessica singkat.
“Ya memang aku adalah ratu
semut yang sukses. Kau adalah semut yang rajin. Karena itu, kamu yang bekerja.”
Ucap Kepala editor Boa dengan enteng.
“Baiklah, baiklah.” Jessica mengangguk
malas, sampai kapanpun ia memang tidak akan menang melawan penyihir itu.
“Tunggu dulu.” Kepala editor
menahan Jessica sebelum keluar ruangan. Ia mengeluarkan sebuah undangan dengan
desain yang sangat cantik dan memberikan pada Jessica.
“Apa ini?”
“Kau tidak bisa membaca? Itu
undangan.” Omel kepala editor, Jessica hanya memanyunkan bibirnya dengan sebal.
“Datanglah untuk menggantikanku, ada banyak orang penting disana. Ingat pakai
gaun yang cantik! Kau membawa nama A-Style, jangan sampai membuat malu.”
“Kenapa aku?”
“Kau mau memberikannya pada orang
lain? Aku memberimu koneksi yang bagus!” Cibir Kepala editor.
“Baiklah aku tahu.” Jawab
Jessica lalu bergegas keluar dari ruangan.
***
Selesai rapat, Donghae
menyalakan mp3 yang berukuran jari kelingking. Ia mendengarkan musik klasik
sepanjang perjalanan mengemudi. Ia memandang ponselnya terus menerus, lalu
memastikan pesan yang masuk. Merasa sedikit bosan, Donghae memutar kemudinya.
Ia menuju tempat kerja Jessica.
Setelah beberapa saat
menunggu, Jessica keluar dari kantornya dengan terhuyung-huyung. Donghae
mengulas senyum melihat wanita itu selalu dalam keadaan hampir “tewas” usai
bekerja. Jessica menyadari kehadiran Donghae dan berjalan menghampirinya seperti
kura-kura.
“Ada apa?”
“Ayo kita makan.” Ajak Donghae
antusias. Seperti biasa tanpa persetujuan Jessica, Donghae hanya menarik gadis
itu masuk ke dalam mobil dan membawanya ke restauran udon.
Ada banyak restauran udon di
pinggir kota. Tapi, restauran udon yang sering mereka datangi memiliki cita
rasa tersendiri. Jessica dan Donghae tidak tahu sejak kapan selera mereka jadi
mirip.
“Kau selalu berbuat sesukamu
dan tidak pernah menanyakan pendapat orang lain lebih dulu.” Jessica memasukan
jamur ke dalam mulutnya. Terdengar bunyi kries
beberapa kali. Donghae tersenyum melihatnya.
“Sebenarnya aku sedikit
terkejut Ibumu masih muda dan cantik.” Ucap Jessica hati-hati.
Sebenarnya sudah lama Jessica
ingin bertanya tentang hal itu, hanya selama ini ia belum berani. Ia masih
merasa tidak percaya kalau Lee Donghae adalah seorang presdir, lalu tiba-tiba
menjadi pacar palsunya.
“Ia bukan Ibuku, tapi istri
muda Ayahku.”
Lagi-lagi Jessica sangat
terkejut. Tapi setelah dipikir-pikir, tentu saja tidak mungkin kalau wanita
cantik itu Ibu kandungnya.
“Lalu, Ibu kandungmu?” Jessica
tahu ini adalah pembicaraan yang sangat sensitif jadi ia sangat berhati-hati.
“Ibuku sudah meninggal sejak
aku sekolah dasar.”
Jessica menjadi bingung dengan
apa yang harus ia katakan. Akhirnya ia hanya diam dan mengangguk-angguk.
“Apa kau pernah jatuh cinta?”
Donghae tersenyum kecut dengan
pertanyaan Jessica. “Aku sudah tidak percaya cinta.”
Sepertinya pernyataan Donghae
meninggalkan bekas yang sangat dalam di hati Jessica sampai ia tidak dapat mengatakan
apa-apa lagi.
“Kau tidak percaya kalau aku
sudah tidak memercayai cinta?” tanya Donghae sambil meneguk teh herbalnya.
“Tidak, ah maksudku aku
percaya, hanya saja penasaran kenapa lelaki sepertimu tidak percaya pada cinta
lagi.” Kata Jessica dengan sangat serius.
Donghae meletakkan sumpitnya,
lalu menopang kepalanya dan memandangi Jessica membuat gadis itu salah tingkah.
“Aku hanya tidak percaya.” Donghae
kembali pada posisi awal duduknya “Wanita didunia ini sama saja.”
“Tapi... “ jessica takut perkataannya
membuatnya terlhat seperti wanita gampangan. Sebenarnya ia hanya ingin membujuk
Donghae agar percaya kalau sebenarnya cinta itu ada.
“Aku tidak percaya cinta wanita.
Mereka adalah makhluk yang serakah, harta, tahta, dan status yang mereka
incar.”
“Lalu bagaimana denganku,
apakah aku juga seperti itu?” gumam Jessica yang sama sekali tidak di mengerti
Donghae.
“Bisakah kau berhenti bicara
sendiri seperti itu? Kalau kau bergumam seperti itu aku tidak mendengar
perkataanmu.”
“Ah maaf, tidak usah dipedulikan.”
Jessica menghela napas, ia memang bisa mengelak. Tapi ia tidak dapat berbuat
apa-apa dalam situasi seperti itu. Ia yang sudah mulai memiliki ketertarikan
pada Donghae hanya bisa menempelkan ujung sumpit pada bibirnya.
***
TBC
Jangan lupa tinggalkan kesanmu di kolom komentar tentang part ini ya^^
Note :
Part selanjutnya hanya akan di posting jika jumlah komentar readers lebih dari sepuluh komentar!